Fenomena ini dibuktikan dalam penelitian tahun 2010 oleh Brendan Nyhan dan Jason Reifler keduanya profesor politik di Dartmouth College, Amerika Serikat. Peneliti membagi kelompok penelitian menjadi dua kelompok, sama-sama orang konservatif yang percaya Irak punya senjata pemusnah massal.
Kedua kelompok diminta membaca laporan mengenai senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction/WMD) yang dimiliki oleh Irak, sebuah informasi yang dijadikan alasan oleh Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak.
Peneliti menyiapkan dua laporan, yang pertama laporan bahwa Irak memiliki WMD. Laporan kedua adalah laporan lebih baru (2004-Duelfer Report) yang menyebutkan bahwa Irak ternyata tidak memiliki WMD.
Kelompok pertama hanya membaca laporan yang kedua (tidak punya WMD), dari keseluruhan anggota kelompok ada 34% yang masih percaya bahwa Irak punya senjata tersebut. Sementara kelompok kedua diminta membaca laporan pertama (Irak punya WMD) dan laporan sanggahannya, yaitu laporan kedua (Irak tidak punya WMD).
Ternyata angka yang percaya Irak punya WMD meroket menjadi 64%. Informasi sanggahan tidak membuat kelompok menjadi sadar dan insaf, tapi malah menguatkan keyakinannya meski informasinya sebenarnya salah.
Bias kognitif ini merupakan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) yang menghindarkan kita dari rasa “sakit” atau rasa “malu” bahwa kita sebenarnya salah.
Senang diadu domba
Confirmation Bias, dan backfire effect ini terjadi sehari-hari di Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, dan semua media sosial belakangan ini. Tentu saja kontestan pemilu dan konsultan politik sebagian tahu hal ini dan memanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan mereka; mengadu domba masyarakat untuk keuntungannya sendiri.
Kita sebagai pengikut sosmed faktanya juga senang-senang saja diadu domba.
Penelitian terbaru oleh Anat Maril dari Fakultas Psikologi The Hebrew University, Israel, April 2018, memperlihatkan sesuatu lebih mengkhawatirkan.
Pengikut di sosmed tidak hanya memilih informasi yang disuka saja, tetapi semakin diberikan informasi benar, kita malah semakin tidak percaya.
Ketika otak kita disuplai informasi berupa opini atau pendapat (yang belum tentu benar) yang kita sukai, informasi itu langsung dikategorikan sebagai “fakta” dalam memori kita.
Hanya sebagian kecil orang yang mau bersusah payah “menantang” informasi yang belum tentu benar ini dengan melakukan klarifikasi (tabayyun).
Bias ketiga ini dinamakan “The Stroop Effect”. Eksperimennya sederhana, bisa dilakukan sendiri dan sebagian saya yakin sudah pernah melakukan.
Cetak 'nama-nama warna' tetapi dengan warna berbeda. Misalnya tulisan “BIRU” yang berwarna hijau. Otak kita biasanya akan susah payah mengenali warna “sebenarnya” yaitu hijau. Karena warna biru sudah tersimpan dalam memori kita ketika kita membaca tulisan “BIRU” meskipun warna jelas hijau.