Melakukan segala cara masuk sekolah favorit
Para orangtua siswa yang sadar akan peta sekolah favorit akan berlomba-lomba memasukkan anak ke sekolah impian demi masa depan anak, supaya bisa peluang diterima UI, UGM, atau ITB lebih besar.
Segala cara harus dilakukan. Kalau perlu memalsukan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) supaya bisa masuk sekolah negeri favorit. Di Jawa Tengah saja, 78.065 SKTM palsu dibatalkan (yang ketahuan).
Itu artinya 78 ribu orangtua terang-terangan sudah membuang jauh dan merobek-robek tujuan utama pendidikan dan pengajaran bangsa ini menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu membentuk manusia berakhlak mulia.
Tentu, tidak semua sampai memalsukan SKTM. Dugaan saya, sebagian besar melakukan protes secara lunak maupun secara keras terhadap kebijakan zonasi.
Indikator "pintar" dan "bodoh"
Bagi yang kontra kebijakan ini, ada pernyataan menarik dari seorang kawan, “anak-anak yang pintar akan bosan kalau dijadikan satu kelas dengan anak-anak yang bodoh.”
Pernyataan yang lain, “anak-anak yang bodoh akan keteteran kalau dijadikan satu dengan anak-anak yang pintar.”
Tentu saja, dugaan saya, arti kata pintar dan bodoh yang dimaksud dis ini persis seperti yang sudah saya sampaikan di atas. Indikatornya ya sebatas nilai ujian akhir SMP atau SD.
Jadi menurut pandangan ini, sekolah favorit dan siswa kurang “pintar” itu seperti air dan minyak. Susah jadi satu. Seperti pasangan yang tidak jodoh. Susah jalan bareng.
Apakah benar demikian?
Keyakinan yang tragis
Beberapa tahun yang lalu saya melihat dampak keyakinan yang demikian secara tragis.
Ketika beberapa bulan mendampingi siswa dianggap kurang “pintar” di sekolah favorit. Demi mempertahankan kefavoritannya, sekolah baik sengaja maupun tidak, menghancurkan asa anak-anak ini.
Sebut saja namanya Budi. Budi anak seorang pedagang gorengan. Rumah kontrakannya sempit, lembab, dan gelap. Bapaknya, yang katanya buruh bangunan sudah beberapa bulan tidak pulang.