Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Apakah Siswa Kurang “Pintar” Berhak Masuk Sekolah Favorit?

Kompas.com - 16/07/2018, 21:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Melakukan segala cara masuk sekolah favorit

Para orangtua siswa yang sadar akan peta sekolah favorit akan berlomba-lomba memasukkan anak ke sekolah impian demi masa depan anak, supaya bisa peluang diterima UI, UGM, atau ITB lebih besar.

Segala cara harus dilakukan. Kalau perlu memalsukan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) supaya bisa masuk sekolah negeri favorit. Di Jawa Tengah saja, 78.065 SKTM palsu dibatalkan (yang ketahuan).

Itu artinya 78 ribu orangtua terang-terangan sudah membuang jauh dan merobek-robek tujuan utama pendidikan dan pengajaran bangsa ini menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu membentuk manusia berakhlak mulia.

Tentu, tidak semua sampai memalsukan SKTM. Dugaan saya, sebagian besar melakukan protes secara lunak maupun secara keras terhadap kebijakan zonasi.

Indikator "pintar" dan "bodoh"

Bagi yang kontra kebijakan ini, ada pernyataan menarik dari seorang kawan, “anak-anak yang pintar akan bosan kalau dijadikan satu kelas dengan anak-anak yang bodoh.”

Pernyataan yang lain, “anak-anak yang bodoh akan keteteran kalau dijadikan satu dengan anak-anak yang pintar.”

Tentu saja, dugaan saya, arti kata pintar dan bodoh yang dimaksud dis ini persis seperti yang sudah saya sampaikan di atas. Indikatornya ya sebatas nilai ujian akhir SMP atau SD.

Jadi menurut pandangan ini, sekolah favorit dan siswa kurang “pintar” itu seperti air dan minyak. Susah jadi satu. Seperti pasangan yang tidak jodoh. Susah jalan bareng.

Apakah benar demikian?

Keyakinan yang tragis

Beberapa tahun yang lalu saya melihat dampak keyakinan yang demikian secara tragis.

Ketika beberapa bulan mendampingi siswa dianggap kurang “pintar” di sekolah favorit. Demi mempertahankan kefavoritannya, sekolah baik sengaja maupun tidak, menghancurkan asa anak-anak ini.

Sebut saja namanya Budi. Budi anak seorang pedagang gorengan. Rumah kontrakannya sempit, lembab, dan gelap. Bapaknya, yang katanya buruh bangunan sudah beberapa bulan tidak pulang.

Halaman Berikutnya
Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau