Budi bisa masuk ke sekolah ini karena adanya kebijakan pemerintah daerah menjamin siswa miskin dapat kursi, bahkan di sekolah unggulan tanpa melihat nilai ujian akhir. Kebijakan hebat ini punya mimpi, anak-anak kurang pintar pasti bisa digali potensinya dan diasah kemampuannya di sekolah.
Sekolah, apalagi yang unggul-unggul ini, pasti punya cara membentuk siswa biasa saja menjadi pribadi-pribadi unggulan pula.
Awalnya memang penuh harapan. Namun yang terjadi adalah nilai Budi terseok-seok dibandingkan dengan siswa-siswa “reguler”.
Budi dianggap tidak bisa mengikuti pelajaran. Terang saja tidak bisa mengikuti, wong tidak ada perubahan dalam pola pengajaran meski jelas kemampuan Budi tidak sama dengan lainnya.
Sudah jatuh tertimpa tangga
Saya yang diminta mendampingi mendapati dari hasil tes inteligensi bahwa Budi termasuk dalam kategori slow learner. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, demikian ibaratnya.
Bukannya tidak bisa memahami pelajaran, tapi anak ini perlu waktu lebih panjang memahami pelajaran. Saya pun menjadwalkan tambahan waktu belajar untuk Budi.
Saya membayangkan sekolah akan melakukan sesuatu membantu Budi sampai lulus. Karena dalam semangat pendidikan inklusi, sekolah harus menyesuaikan anak, bukan sebaliknya anak menyesuaikan sekolah.
Bahkan ada yang menyebut anak “tak qualified” dengan sekolah. Budi dikhawatirkan “merusak” rata-rata nilai ujian sekolah dan nanti bisa menurunkan ranking sekolah. Saya melongo.
Dalam bayangan saya, sekolah yang berhasil itu sekolah yang membuat anak tidak bisa menjadi bisa. Membentuk karakter anak supaya sesuai dengan tahap perkembangannya.
Disingkarkan secara halus
Kemudian kekhawatiran saya benar terjadi, Budi bersama siswa lain yang diterima di sekolah karena kebijakan baru ini dijadikan satu kelas. Menguap sudah tujuan kebijakan ini untuk membangun “terciptanya sekolah inklusif yang dapat mengakomodir semua peserta didik”.
Dengan dikumpulkan dalam satu kelas, sekolah ini bukan lagi sekolah inklusif, tapi sekolah eksklusif. Bukannya membaik, prestasi Budi semakin lama semakin merosot.
Menurut saya, anak-anak ini disingkirkan secara halus. Pendampingan saya tidak maksimal karena tidak semua pihak sepaham dengan program tambahan pelajaran bagi Budi. Tidak berapa lama setelah itu saya mendengar Budi drop out dari sekolah.
Ketika saya cari ke rumahnya, Budi dan keluarganya sudah tidak disana lagi. Pemilik kontrakan pun tidak tahu mereka kemana. Tragis. Saya sedih bukan kepalang.