Bukannya tidak bisa memahami pelajaran, tapi anak ini perlu waktu lebih panjang memahami pelajaran. Saya pun menjadwalkan tambahan waktu belajar untuk Budi.
Saya membayangkan sekolah akan melakukan sesuatu membantu Budi sampai lulus. Karena dalam semangat pendidikan inklusi, sekolah harus menyesuaikan anak, bukan sebaliknya anak menyesuaikan sekolah.
Bahkan ada yang menyebut anak “tak qualified” dengan sekolah. Budi dikhawatirkan “merusak” rata-rata nilai ujian sekolah dan nanti bisa menurunkan ranking sekolah. Saya melongo.
Dalam bayangan saya, sekolah yang berhasil itu sekolah yang membuat anak tidak bisa menjadi bisa. Membentuk karakter anak supaya sesuai dengan tahap perkembangannya.
Disingkarkan secara halus
Kemudian kekhawatiran saya benar terjadi, Budi bersama siswa lain yang diterima di sekolah karena kebijakan baru ini dijadikan satu kelas. Menguap sudah tujuan kebijakan ini untuk membangun “terciptanya sekolah inklusif yang dapat mengakomodir semua peserta didik”.
Dengan dikumpulkan dalam satu kelas, sekolah ini bukan lagi sekolah inklusif, tapi sekolah eksklusif. Bukannya membaik, prestasi Budi semakin lama semakin merosot.
Menurut saya, anak-anak ini disingkirkan secara halus. Pendampingan saya tidak maksimal karena tidak semua pihak sepaham dengan program tambahan pelajaran bagi Budi. Tidak berapa lama setelah itu saya mendengar Budi drop out dari sekolah.
Ketika saya cari ke rumahnya, Budi dan keluarganya sudah tidak disana lagi. Pemilik kontrakan pun tidak tahu mereka kemana. Tragis. Saya sedih bukan kepalang.
Sementara di waktu yang sama, di sekolah lain yang memang semangatnya inklusif, saya juga melakukan pendampingan.
Tidak hanya anak slow learner, tapi anak berkebutuhan khusus dijadikan satu kelas dengan anak “reguler”. Dan semua berjalan dengan baik-baik saja. Bahkan kemajuan dan prestasi anak ini meningkat drastis.
Pemerataan pendidikan
Jadi kalau memang serius dan dimonitor kesiapannya, kebijakan zonasi ini dapat menciptakan kelas-kelas inklusif yang lebih luas. Pemerataan kualitas pendidikan akan terwujud, seperti di Finlandia.
Tidak ada sekolah favorit, karena memang semua sekolah kualitasnya standar. Siswa kurang “pintar” tidak akan tersingkir ke pinggiran, ke sekolah yang jauh dari rumahnya, hanya karena sekolah di belakang rumahnya kebetulan favorit.
Namun bila tidak siap dari sisi infrastruktur maupun kualitas dan pola pikir guru-gurunya. Maka akan muncul Budi-Budi lain yang hancur harapannya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.