Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Apakah Siswa Kurang “Pintar” Berhak Masuk Sekolah Favorit?

Kompas.com - 16/07/2018, 21:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Ada dua kata problematik dalam judul artikel saya. Pertama kata "pintar". Saya termasuk tidak sepakat dengan pengertian pintar yang diyakini kebanyakan orang (baca : orangtua siswa).

Umumnya pintar hanya diartikan tingginya kemampuan kognitif. Misal, disamakan dengan tingginya nilai-nilai pelajaran sekolah. Lebih spesifik lagi pintar disamakan dengan nilai pelajaran sains atau ilmu pengetahuan alam (IPA) tinggi.

Jadi, juara dunia atletik lari 100 meter Muhammad Zohri mungkin tidak dianggap pintar oleh kebanyakan orang. Saya juga agak pesimis, mungkin tidak terlalu banyak. Kalau tidak mau mengatakan tidak ada. Orangtua yang sengaja menyiapkan anaknya menjadi atlet atletik nasional.

Istilah "pintar" dan "favorit"

Jadi istilah “pintar” sudah dimonopoli. Padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti pintar /pin·tar/ (1) pandai; cakap, (2) cerdik; (3) mahir (melakukan atau mengerjakan sesuatu).

Jadi, menurut saya Zohri tidak hanya pintar, tapi sangat pintar dalam hal atletik, khususnya cabang lari 100m.

Istilah problematis kedua adalah istilah “favorit”. Kebetulan saya termasuk beruntung bisa menikmati belajar di sekolah favorit. Tidak hanya favorit, tapi sebagai alumni (seperti hampir semua alumni yang lain) menganggapnya sebagai sekolah terbaik di wilayah Vorstenlanden, tanah raja-raja.

Memang secara resmi baik secara input (nilai ujian akhir SMP), maupun output (banyaknya siswa yang diterima di perguruan tinggi ternama) SMUN 3 Jogja “hanya” berada di urutan dua.

Tapi secara tidak resmi saya mengganggapnya sekolah saya jauh lebih kece, lebih keren, dus sudah seharusnya jadi yang terbaik.

Nah, di titik ini masalahnya.

Soal sekolah favorit

 

Kita menganggap ada sekolah baik, ada sekolah kurang baik, dan mungkin ada juga sekolah yang tidak baik. Lama-lama saya jadi agak skeptis dengan keyakinan saya itu. Jangan-jangan output SMU kami yang hebat itu, dikarenakan inputnya juga tinggi. Bukan karena kualitas pengajarannya.

Saya jadi penasaran, bagaimana kalau suatu waktu di SMU saya tadi hanya menerima anak-anak dengan nilai ujian akhir SMP sedang-sedang saja atau bahkan rendah. Apakah outputnya akan sama? Kalau iya, berarti memang SMU saya benar-benar hebat.

Kemudian muncul lagi pertanyaan, apakah SMU saya dibilang favorit “hanya” karena lulusannya bisa diterima di universitas ternama? Bagaimana kalau indikatornya dibuat lebih jauh lagi? Misalnya, lulusannya menjadi pribadi-pribadi bermanfaat dan membangun lingkungan sekitar? Itu berarti SMU saya luar biasa hebat!

Sekolah favorit versus tidak favorit ini yang belakangan hangat diperbincangkan, apalagi kalau sudah bicara kebijakan zonasi. Khususnya sekolah negeri.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau