Kuliah di Belanda Jangan Gampang "Baper", Tahu Sebabnya?

Kompas.com - 21/11/2018, 08:00 WIB
M Latief

Penulis

DEN HAAG, KOMPAS.com - Persoalan kuliah di luar negeri, tak terkecuali di Belanda, bukan cuma akademik, tapi juga soal pergaulan. Tidak gampang bisa bergaul dengan mahasiswa Indonesia meskipun ada di satu departemen atau jurusan.

Kuliah di kampus yang berada di kota Amsterdam misalnya. Sebagai tipikal ibukota, kehidupan para mahasiswa di kota ini pun lebih kental nuansa individualnya.

"Karena semua mahasiswa fokus ke studi dan pekerjaannya. Mereka punya kehidupan pribadi sendiri-sendiri. Secara umum seperti itu dinamikanya. Itu akan jadi satu culture shock tersendiri untuk anak-anak Indonesia yang mau kuliah di luar negeri," ujar Hadi Rahmat Purnama, mahasiswa yang tengah menempuh studi doktoralnya (PhD) Hukum Internasional di Vrije Universiteit Amsterdam (VU), Jumat (16/11/2018).

Beruntung, menurut Hadi, dia berusaha membuka diri untuk bisa bergaul dengan anak-anak Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang suka membuat ajang kumpul anak Indonesia. Di ajang seperti itulah biasanya pergaulan terbuka dan informasi mengalir.

Hadi bertutur, mahasiswa yang belum mendapat housing bisa menggali informasi di antara anak-anak PPI tersebut. Bahkan, lanjut dia, sejak itu dirinya mulai memberlakukan "aturan kecil" ke rekan-rekannya yang sudah lulus agar memberikan kamar atau housing untuk mahasiswa lain yang belum mendapatkan kamar.

"Kumpul dengan PPI itu pada akhirnya tidak cuma makan-makan, tapi ngobrol banyak hal, terutama soal kendala teman-teman yang kuliah di sini. Karena memang, tak semua mahasiswa datang ke sini siap dengan culture schok. Jangan heran, ada yang bawa keluarganya ke sini, tahu-tahu pulang karena enggak betah," ucap Hadi.

Insan Firdaus, mahasiswa yang tengah menempuh PhD di Clinical, Neuro & Developmental Psychology Vrije Universiteit Amsterdam (VU), mengakui bahwa masalah individualisme adalah hal wajar di awal kuliah. Toh, menurut dia, persoalan tersebut tidak cuma dialami anak-anak Indonesia, tetapi juga mahasiswa internasional lainnya, seperti dari AS, Denmark, Hungaria, Jepang, dan lain-lainnya.

Menurut Insan, mahasiswa dari kalangan bachelor dan master (S-2) akan lebih mudah berinteraksi, karena mereka punya kelas. Lain halnya dengan mahasiswa PhD yang tidak punya kelas dan harus lebih banyak berkutat dengan penelitiannya. 

"Sebab mereka fokus ke penelitiannya sendiri-sendiri, sibuk sendiri, jadi susah. Ruang anak-anak PhD lebih sempit," kata Insan.

Terkait kondisi itulah, Bhagasjati Kusuma, mahasiswa S-1 International Relation di Leidan University, mengaku di awal-awal kuliah lebih banyak bergaul dengan anak-anak di Rotterdam.

"Karena anak-anak di Den Haag itu kan kebanyakan anak S-2 dan S-3, jadi saya coba buka jejaring ke Rotterdam dan ketemu banyak teman di sana," kata Bhagas atau disapa Aga.

Masuk ke Rotterdam, lanjut Aga, dia merasa tidak terkena culture shock. Hal itu karena dirinya banyak bergaul dengan anak-anak internasional.

"Dengan anak Indonesia sendiri baru mulai bergaul itu pas bulan ke empat. Kampus saya kan di Den Haag, anak-anak Indonesia di situ baru 10 orang, sangat sedikit," ujar Aga.

Terkait itu, Hadi menimpali, bahwa sebetulnya tiap kota punya kultur sendiri-sendiri. Dia mengakui, dinamika pergaulan mahasiswa di Amsterdam berbeda dengan kota-kota Belanda lainnya.

Pernah kuliah satu semester di Groningen, menurut Hadi, terasa sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi yang dihadapinya saat ini di Amsterdam. Dia bilang, anak-anak di Groningen lebih mudah berinteraksi.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau