Kuliah di Belanda Jangan Gampang "Baper", Tahu Sebabnya?

Kompas.com - 21/11/2018, 08:00 WIB
M Latief

Penulis

"Karena kotanya lebih kecil, di Groningen itu orang-orang terasa lebih perhatian satu sama lain. Mahasiswa internasionalnya kalah banyak dengan di Amsterdam, dan itu jelas mempengaruhi," ucap Hadi.

Support system

Hadi, Insan atau Aga sepakat, masuk ke negeri orang itu ibarat jenjang kehidupan baru sehingga jangan pernah anggap enteng pergaulan dan jejaring. Pasalnya, siapa pun calon mahasiswa yang datang ke Belanda, tentu meninggalkan support system mereka di Indonesia.

Ya, support system itulah yang kerap dilupakan anak-anak Indonesia yang baru datang ke Belanda. Di Indonesia support system dimulai dari keluarga, teman di rumah, teman di sekolah atau di kampus, sementara sebagai anak baru di Belanda? Nol!

"Karena kalau di Indonesia support system itu sudah ada, sudah terbentuk, kalau di sini ya si mahasiswa itu yang membentuk sendiri, dan caranya adalah membuka pergaulan," kata Insan.

Ada tiga saran yang disampaikan Insan dan Hadi terkait support system tersebut. Pertama, sebelum tiba di Belanda, mahasiswa harus banyak cari tahu tentang apa saja yang akan dia butuhkan untuk mendukung hidup dan studinya, mulai soal waktu, sepeda, makanan, housing, dan lainnya.

Kedua, mereka harus harus proaktif. Ya, karena anak-anak Indonesia atau mahasiswa internasional di Belanda bukan tidak "welcome", tapi memang mahasiswa yang baru datang inilah yang harus aktif dan banyak bertanya.

Hadi mengakui, karakter umum orang Indonesia memang harus ada wadah seperti halnya PPI. Hal itu lantaran sifat dasar orang Indonesia yang tidak gampang aktif. Plus, bahasa Inggris mereka tidak terlalu lancar sehingga takut untuk mulai membuka perbincangan.

"Padahal, kalau kita enggak bertanya akan dianggap enggak tertarik, jadi enggak diajak kalau ada acara. Kalau kita enggak bertanya, kita dianggap sudah tahu terkait kegiatan atau diskusi. Kalau enggak bertanya, kita juga dianggap tidak setuju, artinya dianggap sudah tidak interest," kata Hadi.

Adapun yang ketiga adalah menyesuaikan ekspektasi. Insan mengatakan, ekspektasi mahasiswa yang baru datang tidak perlu terlalu tinggi. Karena, di situ si mahasiswa bisa terbawa perasaan atau baper begitu tahu ekspektasinya gagal atau jatuh.

"Banyak juga mahasiswa yang jadi baper lantaran susah involve ke dalam pergaulan. Intinya harus proaktif deh. Jangan ragu cari info atau berbagi info, itu penting. Saya satu-satunya anak Indonesia di departemen hukum untuk jalur PhD, mau tak mau harus proaktif buka pergaulan, kalau tidak begitu pasti mentok," ucap Insan.

Sejatinya, menurut Insan, kondisi paling krusial adalah ketika si mahasiswa baru tiba di Belanda dnamenjalni rutinitasnya selama 3 bulan pertama. Pada saat itulah excitement atau tingkat antusias mahasiswa tinggi. 

"Ibaratnya sedang bulang madu, semuanya terasa kelihatan enak-anak saja, dan excitement mereka tinggi banget dan naik terus. Begitu masuk ketiga dan keempat barulah turun, karena mulai dihadapkan pada realitas-realitas yang kita paparkan tadi itu. Harus jaga semangat, kalau drop bisa bikin depresi. Bisa hancur semuanya," kata Insan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau