Hari Pendidikan Nasional: Mendobrak Label Jenius via Pendidikan Vokasi

Kompas.com - 02/05/2019, 15:30 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Situasi ini melahirkan seperlima dari para pekerja di Inggris yang memiliki kualifikasi di atas rata-rata, dari yang dibutuhkan profesi yang ditekuni. Artinya terjadi surplus kualifikasi pada profesi-profesi yang menyediakan lapangan kerja.

Studi menunjukkan sekitar 5.6 juta pekerjaan yang tersedia, tidak membutuhkan gelar akademik, namun ketrampilan siap pakai.

Obsesi jalur universitas 

Padahal di sisi lain, ekonomi Inggris mengalami kesulitan dari ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan kemampuan para pekerjanya (mismatch).

Studi dilakukan City & Guilds misalnya menunjukkan 68 persen anak muda berencana masuk ke universitas, dimana hanya 30 persen pekerjaan membutuhkan gelar akademik. Studi lain menunjukkan 59 persen lulusan universitas bekerja pada sektor yang tidak membutuhkan gelar akademik.

Dalam konteks Indonesia, obsesi terhadap pendidikan tinggi begitu kuat. Pendidikan Vokasi yang dimulai dari pendidikan kejuruan di tingkatan pendidikan dasar (SMK), yang kemudian dilanjutkan di Tingkat Pendidikan Atas melalui D1- D4, Master dan Doktor Terapan tidak banyak tersosialisasikan dengan baik.

Muncul persepsi di publik bahwa pendidikan vokasi, khususnya kejuruan di tingkat SMK adalah pendidikan kalangan ekonomi menengah ke bawah, yang tidak akan mampu meneruskan pendidikan ke universitas misalnya. 

Lain lagi di tingkat universitas. Pendidikan vokasi - D3 misalnya, dalam praktiknya menjadi pendidikan S1 minus satu tahun, dimana kurikulumnya belum mencerminkan kurikulum pendidikan vokasi yang kuat di praktikum.

Sehingga ini kemudian membuat pendidikan vokasi di pendidikan tinggi dinilai belum berhasil mencetak tenaga terampil siap kerja di Industri.

Minat semakin tumbuh 

Meskipun demikian, peminat pendidikan vokasi terus bertambah. Pada tahun 2017 jumlah sekolah SMK mencapai 13.710 dengan jumlah siswa 4,9 juta siswa (Mujiono, 2018).

Sayangnya, sebesar 74,3 persen SMK diselenggarakan pihak swasta yang belum mampu menyediakan fasilitas pembelajaran praktikum memadai (laboratorium praktik lengkap dengan peralatan modern, pengajar professional dari industri; pelatihan-pelatihan; peralatan praktik yang sesuai dengan jumlah siswa; dan sebagainya).

Kurangnya fasilitas ini menyebabkan siswa SMK lebih banyak mendapatkan materi teori daripada praktik. Sehingga, tujuan untuk mempersiapkan menjadi pekerja terampil, jauh dari harapan.

Berbagai tantangan ini dalam kurun waktu 4.5 tahun ini sudah mengalami banyak perubahan. Pemerintah memberikan banyak perhatian kepada dunia vokasi Indonesia.

Kementerian Perindustrian misalnya, melakukan upaya membina SMK dengan menugaskan industri membina lima SMK dan melakukan kordinasi penyesuaian kurikulum SMK yang berkiblat pada kebutuhan DUDI (Dunia Usaha, Dunia Industri).

Dari 36 kompetensi keahlian terkait Industri yang terdapat kesamaan dengan keahlian SMK, telah diselaraskan sebanyak 34 kompetensi dan modul (Mujion, 2018).

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau