Program Pintar
Praktik baik dan gagasan pendidikan

Kolom berbagi praktik baik dan gagasan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Kolom ini didukung oleh Tanoto Foundation dan dipersembahkan dari dan untuk para penggerak pendidikan, baik guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dosen, dan pemangku kepentingan lain, dalam dunia pendidikan untuk saling menginspirasi.

100 Hari Nadiem Makarim: Kampus Merdeka, Upaya Melepas "Kacamata Kuda" Mahasiswa

Kompas.com - 30/01/2020, 10:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Prof. Sri Minda Murni

KOMPAS.com - Pada 24 Januari 2020, Mendikbud Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan Kampus Merdeka.

Ada empat pokok kebijakan yang dikeluarkan, yaitu: (1) pendirian Program Studi (Prodi) baru,
(2) re-akreditasi otomatis, (3) pemberian kebebasan bagi perguruan tinggi negeri (PTN) Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (BH), dan
(4) pemberian hak bagi mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi serta perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS).

Saya tertarik dengan kebijakan keempat. Kebijakan ini memberikan hak bagi mahasiswa (kecuali mahasiswa prodi Kesehatan), untuk secara sukarela mengambil SKS di luar perguruan tinggi sebanyak dua semester, atau setara dengan 40 SKS.

Di luar ini, mahasiswa dapat juga mengambil SKS di prodi berbeda di dalam PT yang sama sebanyak satu semester. Sehingga jumlah total SKS yang wajib diambil di prodi asal menjadi minimum sebanyak lima semester dari total delapan semester.

Mahasiswa dimerdekakan

Dalam kebijakan ini, definisi SKS yang sebelumnya identik dengan jam belajar tatap muka di kelas juga diperluas agar dapat mencakup kegiatan lain, seperti magang (praktik kerja), pertukaran mahasiswa, wirausaha, riset, studi independen, pelatihan militer, serta kegiatan mengajar di daerah terpencil.

Melalui terobosan ini, mahasiswa dimerdekakan untuk memilih alternatif kegiatan pemenuhan SKS dari daftar program yang ditentukan pemerintah ataupun yang disetujui rektor, dengan tetap dibimbing oleh dosen yang ditentukan.

Paket kebijakan Merdeka Belajar bagi mahasiswa yang tertuang dalam kebijakan keempat ini, apabila diterapkan sesuai semangatnya, dapat menjadi inovasi untuk menjawab tantangan perguruan tinggi masa kini untuk menyiapkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan abad 21.

Tantangan dunia kerja

Kenyataannya, dunia kerja yang akan dimasuki lulusan S1 bersifat kompleks dan belum tentu memiliki sistem dan perangkat yang memfasilitasi link and match antara akumulasi pengalaman dan pengetahuan di kampus dengan keahlian yang terpakai di dunia kerja.

Akibatnya, muncul anggapan bahwa lulusan S1 merupakan sumber daya manusia siap bina, bukan siap kerja, mengingat adanya ketidaksinkronan pola pendekatan lingkungan kerja yang lebih pragmatis jika dibandingkan dengan kampus yang lebih teoritis.

Di sisi lain, para pelaku dunia kerja juga seringkali dihadapkan pada inefisiensi proses penanganan masalah yang cenderung reinventing the wheel, atau mengerjakan segala sesuatu dari awal karena kurangnya referensi.

Padahal, apabila dunia kerja dapat memanfaatkan wawasan tentang teori-teori yang ada–yang dipelajari di perguruan tinggi–maka penanganan masalah pun akan lebih efektif dan efisien, berlandaskan teori yang sudah teruji.

Belajar di "dunia nyata"

Oleh karena itu, yang paling ideal adalah lulusan memiliki kapasitas untuk mampu secara akrobatik dan merdeka memanfaatkan pengetahuan teoritis yang ada untuk menyelesaikan masalah-masalah riil di lapangan.

Kapasitas seperti ini hanya mungkin berkembang bila mahasiswa diberi kesempatan untuk mengambil SKS di luar perguruan tingginya, melalui beragam kegiatan dan proyek yang mendukung experiential learning, termasuk dari dunia industri, agar sejak dini mahasiswa sudah terbiasa memiliki kemampuan problem-solving yang strategis dengan mengaitkan teori dan masalah riil.

Seringkali, para pelaku dunia kerja mengeluhkan banyaknya lulusan perguruan tinggi yang tidak memiliki kapasitas penalaran dan keterbukaan berpikir yang menggambarkan kematangan intelektual.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau