"Pandang anak dengan label-label positif, jangan lihat nakalnya, jangan lihat nilai jeleknya. Fokus pada kelebihannya," ujar Munif.
Dengan begitu, anak akan termotivasi untuk terus memperbaiki diri dan tidak termakan "sugesti" bahwa ia tidak bisa atau tidak pintar.
Saat guru menganggap siswa adalah bintang, maka otomatis guru akan memandang kemampuan siswanya seluas samudera, yaitu sikap, keterampilan dan pengetahuan.
Dengan begitu, siswa memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya sehingga lebih mudah berprestasi. Guru pun menjadi pendidik yang akan melahirkan siswa-siswa berprestasi dari beragam bidang.
Sudah saatnya guru ucapkan selamat tinggal untuk kecerdasan tunggal, nilai anak-anak tidak hanya berdasarkan angka atau "kasta", melainkan dilihat dari banyak hal.
Munif menuturkan, kecerdasan kognitif kini telah mengalami penyempitan makna, yaitu dipersempit menjadi nilai dan "kasta".
"Anak-anak pintar adalah anak yang nilainya di atas 8, atau anak IPA lebih pintar dari IPS. Itu adalah anggapan keliru para guru," imbuhnya.
Bila guru memahami bahwa kecerdasan bukan dilihat dari angka atau kasta, maka guru akan memiliki peluang lebih besar menstimulus siswa untuk lebih berprestasi.
Bila guru menjadikan siswa sebagai objek pendidikan, maka guru akan menuntut siswa untuk mengikuti pelajaran yang diberikan.
Namun, bila guru menganggap siswa sebagai subyek pendidikan, materi yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Termasuk melibatkan siswa dalam proses belajar dan memperhatikan bakat dan minat siswanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.