Tulisan ini merupakan Bagian II atau bagian akhir dari dua serial tulisan. Baca sebelumnya Bagian I: Menjadi Manusia Waskita.
BAGIAN ini kami hadiahkan bagi para jomblowan-jomblowati, dan siapa saja yang berulang kali patah hati.
Sebagian besar manusia kerap kali bermasalah dengan soal sesuatu yang hilang dalam perjalanan hidupnya.
Bisa berupa harta benda, harga diri, kehormatan, kesucian, dan yang paling merepotkan: berpisah dengan sosok tercinta dalam jangka waktu tertentu—atau selamanya.
Seperti ucapan Asmuni yang legendaris, “Yuk kita selikidi….”
Kehilangan itu bermuara dari adanya kepemilikan. Lebih sering tertanam dalam pikiran.
Pada soal yang lain, mendekam di perasaan. Masing-masingnya mengandung dampak berbeda, namun sama dalam satu hal—ketidakterimaan.
Jika kehilangan itu tersangkut dalam pikiran, keadaan yang terjadi adalah kemrungsung. Lalu berubah jadi rungsing. Ujungnya muncul suasana tidak tenang.
Bilamana berkenaan dengan perasaan, turunan yang ditimbulkan adalah kehampaan. Semacam ada yang telah pergi tapi meninggalkan bekasan.
Sadarilah, duhai sedulur terkasih, sejatinya kita tak pernah sungguh benar kehilangan. Sebab, jika memang benar hilang, harusnya rasa itu tak lagi ada jejaknya.
Bahasa yang lebih tepat untuk membahasakan keadaan itu, ya duka lara tak terkira.
Apabila hulu dari rasa itu adalah cinta, maka muaranya luka. Kecewa berjela-bejela. Tiada lagi yang lebih menyakitkan tinimbang kondisi begitu.
Cara termudah mengatasinya, terimalah dengan lapang dada. Biarkan rasa itu menjalar dalam kelenjar serotonin. Kelak nanti seiring waktu, ia kan berubah obat mujarab bagi luka yang mengiris hatimu.
Lebih dalam dari itu, masih ada lagi. Tolok ukurnya fakta kehadiran kita yang seketika jadi. Nyaris tanpa persiapan apa pun, kecuali perjanjian suci di hadapan Ilahi—bahwa kita mengakui Dia lah pengada segala sesuatu.
Sang Hyang Maha Niskala. Kita hanya sekadar diadakan dari ketiadaan, lalu kemudian meniada lagi, selamanya.