Kedelapan kompetensi terseburt di antaranya: (1) belajar untuk belajar; (2) mampu berkomunikasi dalam bahasa ibu; (3) mampu berkomunikasi dalam bahasa asing; 4) kompetensi di bidang sosial dan sipil; 5) kesadaran akan budaya dan ekspresinya; 6) keterampilan digital; 7) kompetensi matematika dan ilmu dasar teknologi, dan 8) rasa untuk terus berinisiatif dan kreatif. (hlm. 44)
“Kemampuan belajar untuk belajar ini memampukan orang Finlandia bangkit dari kegagalan,” terang Ratih saat live streaming “Buka Buku KPG” di Youtube baru-baru ini.
Baca juga: Merayakan Hardiknas di Tengah Pandemi, Langkah Para Guru demi Secercah Ilmu...
Misalnya, dalam perjalanan hidup seseorang merasa mengambil bidang pekerjaan yang keliru, ia tak perlu malu memutar haluan dengan kembali ke bangku pendidikan.
Apalagi di Finlandia, setiap profesi wajib memiliki sertifikasi dan tingkat pendidikan linear yang mumpuni.
Sopir bus tidak hanya dicari yang bisa menyetir, ia juga harus mengikuti kursus menjadi sopir bus sekitar dua tahun.
“Aspek yang diajarkan tidak hanya cara menyetir bus yang aman dan tertib di jalan, namun juga berhitung atau ilmu akuntansi dasar, ilmu umum tentang mesin bus, mesin penghitung uang (kassa), juga printer dan alat-alat elektronik yang tersedia di dalam bus, bahkan ilmu pelayanan pelanggan,” urai Ratih (hlm.10).
Jadi setiap profesi sangat dihargai karena kualitas dan kompetensinya di Finlandia. Utamanya guru.
“Posisi guru amat dihargai karena mereka terdidik dan mendidik generasi mendatang.” (hlm. 37) Apalagi kualifikasi menjadi guru di Finlandia terbilang berat. “Guru di Finlandia memiliki pendidikan minimal tingkat master atau S2.”
Pendapatan guru pun melebihi standar gaji rata-rata penduduk Finlandia pada umumnya.
Tentu saja, kata Ratih, pendidikan adalah bagian dari budaya. Tidak ada satupun sistem pendidikan di suatu negara yang dapat ditiru mentah-mentah oleh negara lain.
Finlandia berbanding Indonesia, misalnya, punya jenis dan jumlah penduduk yang berbeda sekali. Masyarakat Finlandia cenderung homogen, sedangkan Indonesia sangat majemuk. Populasi Finlandia hanya 5,5 juta jiwa. Indonesia dihuni lebih dari 270 juta orang.
Dari segi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, Finlandia juga lebih tinggi.
Ambil contoh ketika pemerintah mengimbau masyarakatnya untuk tinggal di rumah, mengurangi aktivitas di luar untuk mengantisipasi penyebaran virus corona, 70 persen warganya patuh. Serentak terkendali.
Sistem kepercayaan ini juga ditanamkan sejak pendidikan dasar. Guru dan orangtua memberikan kebebasan memilih kepada anak.
Baca juga: Pada Hardiknas 2018, Dekan FK UI: Indonesia Menuju Pendidikan Daring
Pendapat siswa sangat didengarkan, sehingga tanpa sadar tertanam jiwa demokratis sejak dini. Sementara ambisi bersaing ditekan. Berbeda dengan di Indonesia dan kebanyakan negara di dunia, yang terobsesi pada peringkat, Finlandia tidak menerapkan sistem nilai dan juara kelas.