KOMPAS.com - GEMBIRA! Kata itulah yang terpenting dalam dunia pendidikan. Faktor kegembiraan adalah alat bagi guru atau dosen untuk meningkatkan pencapaian belajar.
Semoga kita dapat mengingat kembali konsep belajar Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia di hari ulang tahunnya ini. Konsep belajar sambil bermain yang melahirkan kegembiraan.
Semoga kita dapat mengingat kembali konsep belajar dari pemilik lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang menganjurkan agar mengajarkan apa pun kepada anak didik dengan cara bermain agar tercipta suasana gembira.
Namun kenyatannnya, seperti yang kita ketahui bersama, kegembiraan itu seolah-olah sirna dengan adanya pembelajaran secara daring sebagai dampak pandemi Covid-19.
Segudang masalah telah dikeluhkan orangtua siswa. Keluhan sejenis juga dirasakan siswa lain. Bahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan sudah menerima ratusan pengaduan dari berbagai wilayah di Indonesia.
Baca juga: Hardiknas 2020, Momen Guru Millenial di Tengah Wabah Covid-19
Sejumlah siswa mengeluh beratnya penugasan dari guru/ dosen yang harus dikerjakan dengan tenggat yang sempit.
Sementara itu, di sisi lain, tugas dari guru lain telah menanti, Meskipun tak terekspos, guru/dosen pun mungkin mengeluh kehabisan gaya untuk tampil di depan murid-muridnya secara daring.
Bagaimana mungkin tujuan pembelajaran akan tercapai jika kegembiraan itu tak lagi milik mereka?
Dalam dunia pendidikan, kegembiraan merupakan strategi belajar. Ia harus diletakkan pada urutan pertama. Namun, bagaimana caranya?
Serangkaian strategi harus dilakukan oleh seorang guru/ dosen. Bermainlah dengan murid-murid! Itulah yang disarankan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita.
Kurikulum yang dirancang Ki Hadjar Dewantara disampaikan dengan cara bermain (dolanan) seperti dolanan anak, tarian, nabuh gamelan, dsb. Dalam model kurikulum yang dikembangkan Ki Hadjar, anak diajari calistung yang disampaikan dengan aneka permainan.
Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang bermain dengan demikian menyoroti dimensi instrumental dan epistemologis dari bermain sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembelajaran yaitu kemajuan softskill anak.
Dalam pandangan filsuf Jerman terkemuka, Hans-Georg Gadamer (1902 – 2002), konsep “bermain” (spiel) memiliki bobot ontologis yang mendalam, bukan hanya instrumentalis, melainkan epistemologis seperti disampaikan Ki Hadjar Dewantara di atas.
Gadamer dalam adikaryanya, Truth and Method (1960) membahas letak pentingnya bermain dalam penyingkapan kebenaran yang mewujud dalam struktur ontologis seni dan pengalaman manusia tentang seni itu sendiri.
Bermain, dalam wawasannya, keliru jika dipahami sebagai main-main belaka.
“Jika bermain hanya dimengerti sebagai bermain, ia tidaklah serius. Bermain mempunyai relasi khusus dengan keseriusan. Keseriusanlah yang memberi ’tujuan’ pada bermain, sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, kita bermain ’untuk rekreasi’.
Baca juga: Pidato Lengkap Hardiknas 2020 Mendikbud Nadiem Makarim
Namun, bukan hanya tujuan ini yang membuat bermain menjadi serius. Bermain pada dirinya sendiri mengandung keseriusan, bahkan keseriusan yang suci.
Dalam bermain, semua relasi bertujuan yang menentukan eksistensi aktif dan peduli daripadanya ditunda, bukannya menghilang.
Bermain memenuhi tujuannya hanya jika si pemain kehilangan dirinya dalam bermain. Keseriusan bukanlah sesuatu yang menjauhkan kita dari bermain; melainkan sebaliknya, keseriusan dalam bermain adalah hal yang niscaya untuk membuat bermain menjadi sungguhan.” (Gadamer, 1989: 102 – 106 dalam Putranto, 2010: 59)
Bermain salah satu metode hibur adalah wujud usaha kreatif dalam pengembangan kualitas pembelajaran mata pelajaran apa pun, Bahasa Indonesia misalnya.
Banyak tantangan yang menarik dan membuat kita memiliki semangat baru ketika memasuki dunia bahasa Indonesia. Dengan adanya tantangan demi tantangan itu, ide kreativitas pun muncul, salah satunya adalah penerapan metode hibur.