Menurut Dea Panendra, orang semacam itu memang ada. “Tidak sama kejadiannya seperti di novel, tapi aku sempat bertemulah dengan orang-orang yang cukup egois, padahal film adalah kerja tim,” ucapnya.
Baca juga: Hari Buku Nasional, Perpustakaan Tutup karena Pandemi Covid-19
Sementara soal romcoms, Teppy mengatakan kisah happy ending dan tokoh rupawan memang apa yang dicari oleh penonton. Penulis yang terkenal lewat gayanya mengulas film itu menyebut kekuatan romcoms adalah membawa penonton lari dari kenyataan.
Alhasil, jika pun ada yang bisa dipetik dari kisah ada romantis, hal itu adalah ketidaknyataan kisah itu sendiri. “Romcoms membuat gue untuk tidak berpikir [bahwa kehidupan] seperti itu,” ucapnya.
Masih banyak lagi hal yang dibicarakan dari "When Everything Feels Like Romcoms". Sebagian besar menyangkut bagaimana novel 312 halaman meletakkan tokoh-tokohnya dalam latar dunia film.
Di satu sisi, Candra membuat latar perfilman yang realistis, bahkan disertai dengan nama-nama tokoh nyata; tapi narasi utamanya, yang kental akan romcoms, adalah wahana hiburan yang sepenuhnya bertujuan menghibur.
Hasilnya adalah sebuah romansa pop yang segar. Mengutip Paul Agusta, “[This novel] is about people who love movies, it feels like movies, dan menghiburnya minta ampun.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.