Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orangtua dan Guru, Ini Cara Kenali dan Atasi Gangguan Mental Siswa

Kompas.com - 10/10/2020, 09:15 WIB
Elisabeth Diandra Sandi,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

“Misalnya tidak mau makan. Jadi sesuatu yang seharusnya kita (guru maupun orangtua) rasa harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhkan biologisnya, itu tidak dilakukan selama 2 minggu. Kita harus langsung aware (sadar). Kalau menarik diri dan sudah dilakukan 2 sampai 3 bulan, itu kita harus udah mulai aware,” jelas Jovita.

Terlebih saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti mendapati bahwa pelajar mengalami tambahan masalah dalam dunia pendidikan.

Dari hasil survei, pelajar mengalami masalah kuota, tugas yang banyak dengan waktu terbatas hingga kelelahan dan mata sakit karena terlalu lama menatap layar gawai. 

Baca juga: Begini Peran Orangtua Menangani Permasalahan Anak Usia Dini

7 langkah 

Oleh karena itu, setelah melihat 11 tanda tersebut dari anak, orangtua dan guru bisa melakukan 7 cara di bawah ini.

1. Validasi emosi anak.

Jovita mengingatkan orangtua dan guru agar jangan sampai mengabaikan atau menjatuhkan kondisi emosi anak.

Pasalnya bila emosi anak tidak tervalidasi, mereka akan semakin yakin bahwa tidak boleh menunjukan emosi seperti sedih, kecewa, dan merasa terpuruk.

Padahal emosi tidak bisa dihilangkan, tetapi perasaan itu berubah bentuk jika tidak tersalurkan.

“Saat dia kecewa, tetapi itu tidak terkatakan. Akhirnya ya itu, tidak hilang kan kecewanya, tapi berubah bentuk, misalnya jadi dendam,” ujar Jovita.

Maka dari itu, orangtua bisa mendatangi anak yang sedang murung atau menangis untuk mempertanyakan kembali apakah mereka sedih atau tidak.

“Begitu kita bilang, ‘kamu sedih?’ atau ‘kamu marah?’ atau ‘kamu kecewa?’, gapapa kok. Mama juga pernah seperti itu. Begitu kita menyatakan seperti itu, anak tuh merasa dirinya diterima banget sama orangtuanya, sama gurunya, sama siapapun. Dia akan merasa penerimaan diri itu karena kita memvalidasi emosinya,” jelas Jovita.

2. Dengarkan anak.

Jika anak sedang bercerita tentang sesuatu, maka orangtua dan guru harus mendengarkan tanpa memasukan label tertentu.

“Kita tidak perlu memasukan label-label tertentu, misalnya ‘ah kamu baper atau ah kan itu cinta monyet’. Jangan seperti itu karena kalau masa remaja, namanya dia jatuh cinta, ya itu beneran dia suka. Bukan artinya kita bilang, ‘ah cinta monyet itu, enggak benar cintanya pada saat usia segini’,” tutur Jovita.

Kalau orangtua maupun guru tetap melakukan hal seperti itu, anak pun merasa mengalami penolakan. Akhirnya, ia tidak bisa menerima dirinya sendiri.

3. Penerimaan dan cinta tanpa syarat.

Terkait hal ini, Jovita menghubungkannya dengan keunikan dan potensi diri anak. Guru dan orangtua harus memandang kekurangan anak dengan wajar dan menerimanya tanpa syarat.

“Jadi kita menerima dia tanpa syarat dengan cara kita tidak membandingkan dia dengan saudara-saudaranya atau kita tidak membandingkan dia dengan anak-anak orang lain, misalnya. Kita juga tidak membandingkan dengan diri kita sendiri,” tegasnya.

Dengan menerima dan cinta pada anak tanpa syarat, potensi anak akan lebih telihat dan kekurangannya semakin bisa teratasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com