Oleh: Armiwati | Dosen FKIP Universitas Jambi
KOMPAS.com - Mari sejenak mengalihkan fokus dari tamparan hasil survei kelas dunia tentang budaya baca di Indonesia. Ada fakta di depan mata yang membuat batin ini merasa optimis tentang peningkatan kualitas dan kuantitas budaya baca yang sudah terbangun.
Akan tetapi hal ini akan sia-sia jika kita tidak menyadarinya bahwa fakta ini nyata dan merupakan potensi besar atau kita abai dengan keteladanan, pembiasaan dan ketersediaan.
Orangtua dan guru bagaikan diberi hadiah sebuah kue ‘original’ polos dan berkualitas.
Tinggal menunggu kue tersebut mau dibentuk apa selanjutnya: dihias motif batik, tiga dimensi, karakter, motif lukis atau banyak sekali yang bisa dikreasikan untuk menghias kue tersebut hingga menjadi lebih bernilai kompetitif; atau cukup seperti apa adanya; atau dibiarkan begitu saja hingga kadaluarsa, berjamur dan menjadi sumber penyakit yang tak berharga.
‘Bermain dan berliterasi’ menjadi warna baru yang mengalir dan terintegrasi secara alamiah di kalangan anak-anak kita, baik anak-anak yang berusia tingkat sekolah dasar maupun menengah.
Baca juga: Dosen Tiktok Ini Soroti Kemampuan Literasi Digital Para Milenial
Potret seperti ini sangat mudah ditemukan walaupun dalam kondisi yang masih terbatas karena harus menegakkan protokol kesehatan.
Hak anak adalah bermain dan berinteraksi dengan teman sebaya. Layaknya kolaboratif learning di kelas, kegiatan ini terbangun secara alamiah dalam bermain.
Beberapa catatan pengamatan penulis di lapangan pada tempat dan peristiwa yang berbeda dapat membangun harapan baru. Ada keunikan yang terbangun dan cukup mencengangkan jika ditelisik dari pemodelan dalam berliterasi.
Budaya baca mulai menjadi bagian dari aktivitas anak-anak meskipun mereka sedang bermain.
Sekelompok anak usia sekolah dasar bermain dengan rentang perbedaan usia mereka 2-3 tahun dan ada adik yang ikut kakaknya bermain.
Anak-anak ini berada dalam satu lingkungan: salah seorang diantaranya bawa hamster dalam kandang kecil sederhana yang bisa dijinjing kemana-mana dan salah satu lagi menggendong kucing kampung biasa.
Hanya bemula dari si kucing menggigit-gigit tubuhnya timbul pertanyaan, komentar dan pendapat ala anak-anak sesuai dengan usianya. Layaknya diskusi di kelas. Dalam kelompok ini, timbul komentar mengapa kucing tersebut mengigit-gigit tubuhnya apa tidak sakit.
Anak yang lebih besar menyuruh teman bermainnya yang mencari kutu kucing pada teman yang membawa gawai.
Mereka dapat gambaran yang jelas tentang kutu kucing lewat gawai. Istimewanya, karena hanya satu yang membawa gawai, ia membaca nyaring informasi tentang kutu kucing tersebut.