Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Unair: Penerapan Integrasi NIK dengan NPWP Perlu Dikaji

Kompas.com - 14/10/2021, 10:11 WIB
Mahar Prastiwi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (HPP) telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 7 Oktober 2021 lalu.

Undang-undang ini, selain mengatur dan mengubah beberapa aturan perpajakan, dalam UU HPP ini disebutkan perihal integrasi data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan.

Hal ini berarti Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Menyikapi hal ini, dosen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo mengatakan, integrasi NIK dengan NPWP ini perlu dikaji secara mendalam.

Baca juga: Psikolog UGM Tekankan Pentingnya Dampingi Masa Golden Age Anak

Integrasi NIK dengan NPWP butuh upaya ekstra serius

Menurutnya, pengintegrasian NIK menjadi NPWP membutuhkan upaya ekstra serius. Karena perlu pengkajian komprehensif-proyektif, juga pengalaman buruk di Indonesia beberapa waktu yang lalu.

Dia menerangkan, pengalaman buruk yang dimaksud adalah adanya mega korupsi E-KTP yang hingga kini persidangannya belum selesai. Namun demikian adanya single identity number (SIN) ini juga merupakan suatu kebutuhan.

"Pada dasarnya SIN adalah sebuah kebutuhan dalam kehidupan masyarakat maju atau modern. Di semua negara maju, sehingga keberadaan NIK seharusnya adalah sebuah keniscayaan," kata Gitadi seperti dikutip dari laman Unair, Rabu (13/10/2021).

Gitadi menambahkan, integrasi data kependudukan di Indonesia dengan single identity number membutuhkan usaha yang keras dan komprehensif. Mengingat luasnya wilayah dan aksesibilitas masyarakat.

Baca juga: Ini 5 Aplikasi Pembuat Kuis Daring Agar Belajar Lebih Interaktif

Meski keberadaan SIN adalah keharusan, lanjut Gitadi, perlu effort ekstra keras, kuat dan komprehensif.

Selain itu juga membutuhkan kepemimpinan yang kuat, agar institusi-institusi negara tidak membuat berbagai identitas sendiri-sendiri.

"Selain itu terkait dengan luasnya wilayah, keterjangkauan pelayanan di pelosok-pelosok negeri, tingkat pendidikan dan kemasyarakatannya," imbuh Gitadi.

Khawatir kebocoran data

Hal lain yang menjadi problematika terkait data adalah kekhawatiran terjadi kebocoran.

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, kebocoran data yang terjadi dalam institusi pemerintah, BPJS salah satunya.

Hal tersebut tentu menambah kekhawatiran jika SIN diterapkan. Pasalnya jika SIN diketahui, seluruh data termasuk keuangan akan bocor.

Gitadi menegaskan, perihal kebocoran data, pemerintah perlu membuat regulasi yang ketat untuk menjaga keamanan data masyarakat.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau