BERKENAAN dengan Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional) ke-61, pada 02 Mei 2022, saya mengundang para pembaca sekalian untuk mencermati secara kritis tentang sistem pendidikan nasional bangsa kita. Sebagaimana kita ketahui, sejak akhir 2019, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berusaha merevolusi sistem pendidikan nasional melalui serangkaian kebijakan berkelanjutan yang disebut gerakan “Merdeka Belajar”.
Secara konseptual, Merdeka Belajar adalah suatu gerakan untuk membebaskan lembaga pendidikan dan mendorong anak berinovasi dan mengembangkan pemikiran kreatif.
Konsep Merdeka Belajar, pertama-tama dimaksudkan untuk membebaskan lembaga pendidikan model pembelajaran yang terkungkung oleh epistemologi tabula rasa (Latin: papan kosong) bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan (kosong), dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengajaran guru, buku teks, dan pengalaman hidup.
Baca juga: Katanya Merdeka Belajar, Kok Siswanya Masih Terjajah Gini
Dengan kata lain, Merdeka Belajar bermaksud membantu peserta didik menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif, selalu berpikir kritis dan out of the box sehingga bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial yang dinamis.
Kedua, Merdeka Belajar dimaksudkan untuk mendorong pengembangan karakter (character building) di mana para siswa belajar berkolaborasi dengan orang lain, menghormati perbedaan, bersikap adil, dan mengendalikan emosi negatif.
Di bawah sistem Merdeka Belajar ada program Sekolah Penggerak (Sekolah Pemrakarsa) dan Guru Penggerak untuk mendorong kolaborasi sekolah dan guru guna mempromosikan praktik pembelajaran yang progresif, kreatif, dan menyenangkan sesuai dengan bakat dan minat siswa.
Secara ideal, konsep Merdeka Belajar sangat indah dan sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan kita yang sudah lama terkungkung oleh model pembelajaran yang ‘tak merdeka’.
Namun, baik pendukung maupun kritikus meragukan bagaimana pendekatan Merdeka Belajar bisa berjalan efektif di tengah maraknya pembelajaran online akibat Covid-19, apalagi di era digitalisasi di berbagai sektor kehidupan, termasuk di sektor pendidikan.
Masalah utama pendidikan yang terjadi selama pandemi, adalah banyak guru hanya memindahkan metode pengajaran tatap muka tradisional ke metode pembelajaran secara online.
Pada titik tertentu, hal ini dapat dimaklumi. Sebab banyak, bahkan sebagian besar guru, belum dilatih untuk mengelola pembelajaran secara online. Dengan ketrampilan digital seadanya, para guru mencoba mendapatkan perhatian para siswa dari waktu ke waktu dan mengajak mereka untuk belajar melalui aplikasi Zoom atau Google Classroom dan terkadang hanya dengan aplikasi perpesanan.
Selebihnya, mereka tak tahu bahkan tak peduli apakah para siswa di rumah benar-benar belajar, atau tidak belajar apa-apa.
Hal ini tentu saja menjadi masalah serius. Sebab Merdeka Belajar dalam platform online mengandaikan para siswa memiliki kemauan dan kebiasaan untuk belajar secara mandiri.
Sebuah pepatah Inggris dari abad ke-12 menyebutkan, "A man may well bring a horse to the water, but he can not make it drinks without its will". (Seseorang bisa saja membawa kuda ke air, tetapi dia tidak bisa membuatnya minum jika kuda itu tak punya hasrat untuk minum.)
Sama hal dengan program Merdeka Belajar. Kemendikbud, sekolah atau para guru bisa saja menyediakan program Meredeka Belajar, tetapi mereka tak bisa membuat para siswa melakukannya jika para siswa tak punya motivasi dan kesadaran sendiri.
Baca juga: Konsep Merdeka Belajar Diambil dari Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Apakah masalah seperti ini akan selesai dengan sendirinya ketika sekolah tatap muka kembali diterapkan? Tak ada jaminan sama sekali!