Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Mengawal "Merdeka Belajar"

Kompas.com - 14/05/2022, 05:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Program Sekolah dan Guru Penggerak sepertinya ingin mengisi atau mengatasi masalah ini. Tetapi, melihat model sosialisasi Sekolah/Guru Penggerak yang berlangsung belakangan ini, siapa pun tentu pesimistis. Sebab, semuanya dilakukan serba instan.

Apalagi semua kita paham bahwa model pembelajaran yang kreatif, inovatif dan menyenangkan, serta kebiasaan siswa untuk belajar secara mandiri itu tidak bisa terbentuk dalam waktu sekejap, semudah dan secepat membalikkan telapak tangan.

Manfaat dan mudarat digitalisasi pendidikan

Ketika pandemi Covid-19 memaksa dunia pendidikan menerapkan pembelajaran secara online, berbagai pihak melihatnya sebagai a blessing in disguise. Apalagi, kita sedang bergerak ke arah era digitalisasi.

Dalam konteks itu, pandemi Covid-19 memang membawa berkah karena mendesak kita untuk mendayagunakan kemajuan teknologi digital di dunia pendidikan, supaya generasi muda siap memasuki dunia yang semakin digital.

Pihak sekolah dan para guru pun menyadari bahwa teknologi dan kekuatan perangkat dan aplikasi digital dapat meningkatkan keterlibatan, mendorong kolaborasi, memicu inovasi, dan meningkatkan pembelajaran siswa. Bahkan, dengan koneksi internet, para siswa memiliki akses ke informasi di ujung jarinya selama 24 jam sehari. Mereka dapat menemukan hampir semua hal secara online, dalam versi terbarunya.

Namun, pada sisi lain, berbagai studi justru membuktikan bahwa penerapan teknologi digital di dunia pendidikan menimbulkan mudarat bagi freedom of learning.

Amanda Strom (2021) menyatakan bahwa pesatnya perkembangan teknologi digital dan penerapannya yang masif di dunia pendidikan menimbulkan tantangan berat, baik bagi pendidik maupun para siswa dalam konteks freedom of learning.

Tanpa pelatihan dan dukungan yang tepat, para pendidik tidak dapat mendayagunakan perangkat dan aplikasi teknologi digital dalam pelajaran mereka. Pada sisi lain, teknologi digital yang digunakan setiap hari dalam sistem sekolah akan meningkatkan jumlah waktu siswa berinteraksi dengan layar digital.

Tinjauan literatur menemukan bahwa siswa yang terpapar dengan layar digital dalam waktu lama memiliki risiko lebih tinggi mengalami efek kesehatan yang merugikan.

Mereka juga akan mengalami defisit belajar yang besar. Pada tahap tertentu, konsentrasi dan motivasi belajar mereka akan sangat terganggu, sehingga alih-alih mendukung freedom of learning, sebaliknya mereka menjadi tidak termotivasi sama sekali untuk belajar, dan cenderung menjadikan perangkat digital sekadar media hiburan dan game.

Belajar dari negara lain

Sejatinya, gerakan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kemendikbud(ristek) bukanlah yang pertama di dunia. Sejumlah negara lain sudah lama mempraktikkannya.

Norwegia, misalnya, menerapkan kebijakan serupa sejak tahun 1994. Norwegia meluncurkan Reform94 yang intinya memberikan keleluasaan kepada para siswa untuk mengendalikan pembelajaran mereka. Kebijakan tersebut berfokus pada pemberian lebih banyak pilihan dan tanggung jawab kepada siswa untuk bekerja sama dengan guru dalam merancang kegiatan belajar mereka.

Namun, evaluasi nasional menemukan bahwa hanya siswa yang memiliki motivasi diri yang kuat dapat belajar secara mandiri dengan sukses. Sebagian besar siswa lainnya, terutama kaum Wanita justru gagal dalam belajar. Akibatnya, niat baik kebijakan tersebut berujung kegagalan secara nasional (Marianne Bertrand, dkk., 2019).

Hal yang berbeda terjadi di Selandia baru. Praktik  Merdeka Belajar juga telah lama diterapkan di sebuah sekolah terbesar di Selandia Baru yakni Te Aho o Te Kura Pounamu atau biasa disingkat Te Kura).

Te Kura memiliki landasan dari lingkungan belajar online yang dirancang dengan baik.Te Kura membangun lebih dekat hubungan dengan siswa melalui keterlibatan pembelajaran online.
Te Kura didirikan pada tahun 1922. Di masa pra-digital ini, sumber daya pengajaran dan tugas dikirim dan dikembalikan oleh siswa melalui surat untuk penilaian dan umpan balik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com