Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Putus Cinta? Menurut Psikologi, Begini Caranya untuk Move-On

Kompas.com - 10/07/2018, 20:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Setelah beberapa minggu peneliti kemudian memeriksa semua peserta dari kedua kelompok dengan enchepalogram (EEG) untuk merekam aktivitas otak.

Ketika proses EEG sedang berlangsung, peserta diperlihatkan foto-foto sang mantan. EEG secara spesifik mengukur Late Positive Potential (LPP), yaitu teknik untuk mengukur tingkat emosi dan perhatian, seberapa banyak aktivitas elektrik otak ketika peserta diperlihatkan foto mantan menunjukkan tingginya tingkat perhatian.

Hasil pengukuran dikombinasikan dengan kuis respon emosi yang diisi oleh peserta (self-assessment) untuk melihat konsistensi data. Bagaimana hasilnya?

Kelompok peserta yang melakukan ketiga strategi di atas menunjukkan respon emosi lebih sedikit ketika melihat foto-foto mantan dibandingkan dengan peserta tidak melakukan strategi apapun (kelompok kontrol).

Artinya bahwa strategi untuk move-on tadi bisa dibilang ada efeknya.

Namun apa efek positif dan negatif dari masing-masing strategi? Manakah strategi yang paling efektif? Atau kombinasi strategi apa yang paling efektif?

Terdapat 2 dimensi perasaan digunakan untuk melihat efektivitasnya, yaitu perasaan cinta pada mantan dan perasaan bahagia. 

Teknik negative re-appraisal dapat mengurangi perasaan cinta pada mantan, namun sekaligus juga mengurangi perasaan bahagia secara keseluruhan. Akhirnya justru membuat peserta lebih banyak murung dibanding saat penelitian dimulai.

Sedangkan teknik love re-appraisal tidak memiliki efek apapun, perasaan cinta pada mantan tidak berubah, perasaan bahagia juga tetap sama sebelum dan sesudah teknik ini dilakukan.

Sementara itu teknik distraction ternyata tidak mengubah perasaan cinta pada mantan, tapi perasaan bahagia meningkat.

Jadi bagaimana? Apa sebaiknya harus dilakukan?

Menurut saya, mungkin ada baiknya mengkombinasikan teknik pertama dan ketiga. Tinggalkan teknik kedua.

Misalnya begini, sebut saja namanya Leonel Messi. Messi pernah menjalin hubungan selama hampir 5 tahun. Mereka ke mana-mana bersama. Makan siang hampir selalu bersama, senang-susah bersama.

Sampai suatu hari Messi ingin melamar, namun apa mau dikata kedua orangtuanya menolak. Ibunya sejak awal sudah tidak terlalu suka dengan Messi, bapaknya menolak tegas. Sang mantan tidak berani melawan kehendak orangtuanya, pamali katanya.

Messi hancur lebur. Cinta tulus dan mendalam dipupuk bertahun-tahun kandas. Karam. Apalagi sejak itu mantannya mulai menjauhinya. Messi seperti linglung untuk beberapa minggu. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com