Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Putus Cinta? Menurut Psikologi, Begini Caranya untuk Move-On

Kompas.com - 10/07/2018, 20:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Minggu lalu di artikel "Ternyata Ada Rumus Psikologi untuk Membuat Jatuh Cinta“ saya membahas mengenai jatuh cinta. Bagaimana dengan putus cinta? Apakah Anda termasuk orang sulit melupakan mantan?

Kapan terakhir kali Anda putus cinta? Apa yang Anda lakukan? Mengurung diri di kamar mendengar lagu-lagu sedih berulang-ulang, berhari-hari, atau malah berminggu-minggu?

Menurut penelitian berjudul “Romantic Breakups, Heartbreak and Bereavement “ yang terbit pada jurnal Scientific Research edisi bulan Mei 2011,  berlama-lama “menikmati” rasa patah hati menimbulkan efek serius pada kesehatan mental. Bahkan bisa merembet pada kesehatan fisik.

Apakah ada penelitian psikologi terpercaya untuk membantu kawan-kawan kita susah "move-on" ini? Adakah "rumus psikologi" supaya perasaan tidak tersayat-sayat berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun? 

Jawabannya: Ada! 

Penelitian terbaru tahun 2018 oleh Sandra Langeslag, Doktor psikologi University of Missiouri yang terbit pada Journal of Experimental Psychology edisi bulan Mei 2018 menjawab pertanyaan itu.

Langeslag melakukan penelitian pada sekelompok pria dan wanita berumur 20-37 tahun yang baru saja putus cinta. Ada yang baru 2 bulan pacaran lalu putus sampai yang sudah menjalin hubungan selama 8 tahun.

Dalam penelitian mereka dibagi menjadi 2 kelompok, salah satunya kelompok kontrol atau tidak diberikan intervensi apapun. Sementara kelompok penelitian lain diminta melakukan tiga strategi mengatasi (coping strategies) sedihnya patah hati.

Dari situ kemudian diteliti keampuhan cara-cara tersebut. Apa saja strateginya?

1. Negative Re-Appraisal.

Beberapa minggu atau beberapa bulan secara rutin peserta diminta memfokuskan diri pada sifat-sifat negatif sang mantan. Mereka diminta mengingat-ingat situasi tidak menyenangkan ketika masih bersama, dan menyebutkan hal-hal tidak disukai lainnya.

2. Love Re-Appraisal.

Teknik ini mendorong seseorang “menerima” kondisi apa adanya. Bahwa putus cinta itu wajar. Harus ikhlas. Setiap orang punya sisi positif dan negatif, jadi jangan menghakimi mantan. Percayalah bahwa “mencintai itu tidak harus memiliki”.

3. Distraction.

Peserta diminta menyibukan diri dengan hal-hal lain menyenangkan yang bisa melupakan masa lalu. Buang hobi lama yang pernah dilakukan bersama mantan, misalnya menghindari hindari tempat makan favorit bersama mantan, atau jangan pergi ke tempat-tempat tertentu yang sering dikunjungi bersama mantan. Carilah hobi baru yang menyenangkan namun benar-benar berbeda. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com