Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Tekanan Sosial Hampir Selalu Mempengaruhi Setiap Keputusan Kita

Kompas.com - 20/08/2018, 15:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berpuluh tahun lalu seorang teman saya, punya hobi melukis, ketika masih kecil sering juara lomba menggambar. Ketika baru lulus SMU, ingin masuk jurusan seni rupa. Semua anggota keluarganya, om dan tantenya tidak setuju dengan keputusannya.

Ia kemudian “mengalah” dan masuk jurusan lebih “favorit”. Hobi melukisnya kemudian hilang entah kemana. Contoh lain, seorang ibu tadinya rutin melakukan imunisasi, sejak ikut sebuah grup di media sosial menjadi seorang anti-vaksin. Mencegah anak kedua ikut imunisasi, yang tidak hanya akan mencelakakan anak sendiri, tapi juga mencelakakan anak lain.

3. Penelitian 2 kartu

Fenomena ini pertama kali diteliti tahun 1951 oleh Solomon Ach. Psikolog sosial dari Columbia University, Amerika Serikat.

Dalam penelitiannya, sekelompok relawan ditunjukan dua lembar kartu. Pada kartu pertama terdapat gambar sebuah garis. Pada kartu kedua terdapat tiga buah garis dengan panjang berbeda-beda.

Salah satunya sama panjang dengan garis di kartu pertama. Percobaan dilakukan dua kali. Pada percobaan pertama, kelompok subyek penelitian diminta memilih garis mana pada kartu kedua yang sama panjang dengan garis di kartu pertama.

Percobaan ini dilakukan sendiri. Hasilnya, subyek yang menjawab dengan jawaban salah kurang dari 1%. Lebih dari 99% subyek menjawab benar.

Percobaan kedua, peneliti meminta kelompok subyek lain bergantian memasuki ruangan. Dalam ruangan itu sudah ada tujuh orang “subyek lain". "Subyek lain" ini merupakan rekan peneliti yang menyamar menjadi subyek penelitian.

Mereka diminta menjalin relasi positif dengan subyek dan nantinya memberikan jawaban salah. Hasilnya, dengan soal sama persis jawaban salah meroket menjadi 33%, dan hanya 67% subyek masih menjawab benar.

4. Persepsi spasial dan emosional

Pada tahun 2005 profesor psikologi dari Princeton University, Gregory Berns ingin menguji kembali penelitian Solomon Ach. Penelitiannya diterbitkan dalam jurnal Biological Psychiatry edisi Agustus 2005.

Metodenya mirip yaitu membandingkan gambar-gambar. Subyek juga dibagi dua kelompok. Satu diminta membandingkan sendiri. Kelompok lain diminta membandingkan, tetapi ditemani beberapa “subyek lain" yang memberikan jawaban salah.

Semua subyek dalam penelitian ini masuk dalam ruangan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan memakai pemindai otak (brain scanner) untuk dilihat aktivitas otaknya.

Hasilnya sama persis dengan penelitian lima puluh empat tahun sebelumnya. Subyek yang menjawab pertanyaan dalam kelompok, banyak memilih jawaban salah. Bahkan jumlahnya kali ini hingga 40%!

Hasil MRI pada kelompok ini menunjukkan bahwa subyek yang “terseret” arus jawaban salah otaknya aktif pada bagian persepsi spasial.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau