KOMPAS.com - Peringkat perolehan medali emas Indonesia pada penutupan pesta olah raga Asia Tenggara (SEA Games) 2019 berada di posisi ke empat di belakang Vietnam dan Thailand.
Filipina sebagai tuan rumah sudah jauh melejit meninggalkan negara-negara lainnya. Mata saya bukan terkesima oleh prestasi Filipina sebagai pemuncak sementara perolehan medali, tapi Vietnam. Vietnam? Kok bisa Vietnam stabil di dua atau tiga besar perolehan medali emas?
Pikiran saya lalu menjelajah ke mana-mana, dan akhirnya terjerembab ke dinamika diskursus mengenai “SDM Unggul” yang sedang hit di desa kecil bernama Indonesia ini.
Memang tak berhubungan langsung dengan SEA Games di Filipina, tetapi melihat sepak terjang bangsa Viet di ajang olah raga antar bangsa tersebut, maka membahas SDM Unggul tiba-tiba menjadi relevan.
Pertengahan September lalu sempat terjadi polemik atas fakta bahwa 33 perusahaan China merelokasi 23 pabriknya ke Vietnam, dan 10 lainnya disebar ke Malaysia, Thailand dan Kamboja. Indonesia dengan jumlah pekerja yang masif tak kebagian satu pun. Aneh? Mungkin.
Kepala China National Committee for Pacific Economic Cooperation, Su Ge, memang sudah memberikan penjelasan soal itu, bahwasanya lokasi Vietnam dekat dengan China, tepatnya wilayah industri Guangxi.
Dan itu alasan praktis mengapa relokasi ditujukan ke Vietnam. Tapi bagaimana dengan 10 pabrik lainnya yang dipindahkan ke Malaysia, Thailand dan Kamboja? Apakah cara kita mengelola pabrik-pabrik kalah kompetitif dibanding ketiga negara itu?
Adakah yang salah, atau sangat salah, dengan kurang menariknya Indonesia sebagai pusat produksi bagi investor-investor asing (tak hanya China saja)? Ribetnya regulasi? Mungkin. Tapi dengan komitmen politik, itu bisa segera diperbaiki.
Ribetnya urusan dengan birokrasi investasi? Itu juga bisa segera diperbaiki. Masalah politik? Bangsa mana yang tak ribet dengan urusan politik? Malaysia tak terlalu beda jauh dengan Indonesia soal itu. Pun dengan Thailand. Saya tak tahu soal Kamboja, tapi saya kira tak jauh berbeda.
Untuk sejenak saya mengingat-ingat kembali mengapa di tahun 2011 Research in Motion (RIM), produsen BlackBerry, batal berinvestasi di Indonesia dan lebih memilih Malaysia.
Keberatan pihak RIM waktu itu adalah kewajiban membangun data center di Indonesia. Apakah lokasi data center maha penting? Mengapa Malaysia bisa ‘memberikan keleluasaan’ bagi RIM untuk tidak membangun data center di sana? Adakah bahaya nasional bila data center tidak dibangun secara lokal? Bisa ada 1001 argumen soal itu. Jadi apa masalahnya?
Nah, kembali ke target SDM Unggul yang sedang digaungkan realisasinya oleh pemerintah Indonesia, berbagai diskusi dengan pemain industri maupun pengelola pendidikan pun gencar dilakukan.
Tujuannya jelas: kita harus segera membangun strategi untuk mencetak SDM Unggul melalui institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun non formal, yang terhubung langsung dengan kebutuhan industri saat ini dan proyeksinya di masa depan.
Tentu saja terlalu naif untuk mengatakan bahwa daya saing ekonomi dan industri kita hanya terletak pada strategi SDM unggul. Tapi mari kita lihat dari sudut pandang ini dulu.
Urgensi strategi SDM Unggul dilandasi begitu rapuhnya daya saing SDM kita saat globalisasi hadir di halaman rumah kita.