Vietnam memiliki kemiripan dengan sejarah kemiskinan di China.
Untuk keluar dari kemiskinan, tak ada jalan mujarab selain dengan melawannya. Semangatnya bukan untuk kaya raya, tetapi supaya tidak miskin, supaya mandiri. Menjadi kaya raya hanyalah akibat.
Setelah perang usai tahun 1975 dan Saigon (kini bernama Ho Chi Minh City) jatuh ke pemerintahan komunis, cerita klasik tahun tujuh puluhan soal bangsa komunis yang baru kelar perang adalah membangun kemandirian di berbagai lini, dimulai dari yang sangat basic: pertanian dan industri padat karya untuk infrastruktur.
Dua puluhan tahun kemudian, di awal tahun 2000, kita menyaksikan transformasi bangsa Vietnam yang sangat memukau: terbuka kepada globalisasi, mengirim ribuan anak-anak muda belajar ke Eropa dan Amerika, mulai industri manufaktur yang masif serta membawa berbagai standar industri internasional ke industri lokal.
Wajah kota Ho Chi Minh dan Hanoi sudah tak jauh berbeda dengan kota metropolitan lainnya di kawasan ini. Waktu saya masih aktif tinggal di Eropa sebelum pergantian millenium, banyak sekali branded sneakers dan T-shirt dibuat di Vietnam. Kualitasnya sangat bagus. Flawless!
Coba pembaca amati: bukankah 25-an tahun setelah Indonesia merdeka kita juga mengalami suatu periode yang dipenuhi strategi pembangunan SDM yang sangat masif kala itu?
Pabrik-pabrik dibangun di seantero pulau-pulau utama Nusantara, ribuan anak muda dikirim belajar ekonomi dan engineering ke Eropa, Jepang dan Amerika.
SDM Unggul tak bisa direkayasa dalam sebuah ‘pabrik pengetahuan dan ketrampilan’, tak bisa lahir dari kekosongan gagasan sejarah masa lampau. Yang jadi masalah adalah etos kerjanya.
Dan kawah candradimuka terbaik untuk membangun etos kerja dimulai di keluarga.
Benar kata Lee Iacocca, “The only rock I know that stays steady, the only institution that works, is the family.” Sayang, saya belum melihat suatu ajakan, suatu kampanye yang inspiratif dari negara, bagaimana keluarga-keluarga diajak mencetak anak-anak muda yang unggul, sebelum akhirnya institusi resmi mengambil alihnya untuk dididik dan diberi ketrampilan.
Kedua, lagi-lagi kurikulum pendidikan biangnya. Kurikulum pendidikan seperti punya acara sendiri sementara industri punya acara lain.
Keduanya sibuk dengan agenda masing-masing, dan akhirnya lupa bahwa mereka perlu engagement untuk menyiapkan strategi bersama (joint-strategy) yang tak hanya mempersiapkan SDM nasional meningkatkan knowledge dan skill-nya, meng-upgrade kompetensinya, tetapi juga kemampuan bertransformasi saat kompetensi-kompetensi yang mereka miliki mulai redup dimakan teknologi.
Vietnam lebih memilih suatu protokol sederhana namun tegas. Sekitar 70 hingga 80 persen populasi siswanya wajib mengikuti suatu program terapan yang kelak, bila mereka lulus dan akan masuk di labor force, mereka akan melanjutkannya dengan pelatihan-pelatihan yang terkait langsung dengan kebutuhan industri.
Tampak sekali bahwa dari awal setiap siswa sudah disiapkan sebagai spesialist. Dengan begitu content mata ajar tak bisa lagi asal ‘palugada’, semua ada dan diberikan.
Di sinilah pemerintah Vietnam secara besar-besaran berinvestasi: kurikulum dan kebijakan pendidikan yang terintegrasi dengan industri dan menyiapkan spesialis-spesialis unggul di masa depan.
Saat kita menjadi terlalu xenophobic atas wacana rektor asing mempimpin kampus-kampus nasional, Vietnam lebih memilih mengundang banyak peneliti (ilmu terapan) ke kampus-kampus Vietnam melalui support pemerintah.
Tujuannya jelas, menularkan etos kerja akademis yang mumpuni, terbuka dengan berbagai strategi dan metodologi didaktik serta riset, dan untuk saat ini, itu adalah fokus utama.
Para pembaca yang budiman, apakah anda pernah mendengar mobil nasional Vietnam bernama VinFast?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.