Dan globalisasi tak hadir sendirian kali ini, ia hadir bersama dengan teknologi yang sangat canggih dan dinamis, teknologi yang mampu memobilisasi dan mengorkestrasi segala bentuk sumber daya, serta bauran semangat etos kerja yang sangat majemuk dari berbagai bangsa. Saya akan bicarakan dari sisi etos kerjanya.
Pertama, akan sia-sia membicarakan strategi mencetak SDM Unggul kalau hanya melalui strategi formal (misal melalui institusi pendidikan/ pelatihan ketrampilan). Pengetahuan (knowledge) dan ketrampilan (skill) hanya akan menciptakan pekerja yang unggul.
Ya hanya sejauh itu saja. SDM jauh lebih besar daripada sebuah profesi tertentu. SDM Unggul tak melulu soal kompetensi saja, karena untuk mempertahankan daya saing di sisi ini jelas lemah. Bukankah strategi bangsa-bangsa lain juga tak jauh dari strategi ini?
Vietnam memiliki kemiripan dengan sejarah kemiskinan di China.
Untuk keluar dari kemiskinan, tak ada jalan mujarab selain dengan melawannya. Semangatnya bukan untuk kaya raya, tetapi supaya tidak miskin, supaya mandiri. Menjadi kaya raya hanyalah akibat.
Setelah perang usai tahun 1975 dan Saigon (kini bernama Ho Chi Minh City) jatuh ke pemerintahan komunis, cerita klasik tahun tujuh puluhan soal bangsa komunis yang baru kelar perang adalah membangun kemandirian di berbagai lini, dimulai dari yang sangat basic: pertanian dan industri padat karya untuk infrastruktur.
Dua puluhan tahun kemudian, di awal tahun 2000, kita menyaksikan transformasi bangsa Vietnam yang sangat memukau: terbuka kepada globalisasi, mengirim ribuan anak-anak muda belajar ke Eropa dan Amerika, mulai industri manufaktur yang masif serta membawa berbagai standar industri internasional ke industri lokal.
Wajah kota Ho Chi Minh dan Hanoi sudah tak jauh berbeda dengan kota metropolitan lainnya di kawasan ini. Waktu saya masih aktif tinggal di Eropa sebelum pergantian millenium, banyak sekali branded sneakers dan T-shirt dibuat di Vietnam. Kualitasnya sangat bagus. Flawless!
Coba pembaca amati: bukankah 25-an tahun setelah Indonesia merdeka kita juga mengalami suatu periode yang dipenuhi strategi pembangunan SDM yang sangat masif kala itu?
Pabrik-pabrik dibangun di seantero pulau-pulau utama Nusantara, ribuan anak muda dikirim belajar ekonomi dan engineering ke Eropa, Jepang dan Amerika.
SDM Unggul tak bisa direkayasa dalam sebuah ‘pabrik pengetahuan dan ketrampilan’, tak bisa lahir dari kekosongan gagasan sejarah masa lampau. Yang jadi masalah adalah etos kerjanya.
Dan kawah candradimuka terbaik untuk membangun etos kerja dimulai di keluarga.
Benar kata Lee Iacocca, “The only rock I know that stays steady, the only institution that works, is the family.” Sayang, saya belum melihat suatu ajakan, suatu kampanye yang inspiratif dari negara, bagaimana keluarga-keluarga diajak mencetak anak-anak muda yang unggul, sebelum akhirnya institusi resmi mengambil alihnya untuk dididik dan diberi ketrampilan.
Kedua, lagi-lagi kurikulum pendidikan biangnya. Kurikulum pendidikan seperti punya acara sendiri sementara industri punya acara lain.
Keduanya sibuk dengan agenda masing-masing, dan akhirnya lupa bahwa mereka perlu engagement untuk menyiapkan strategi bersama (joint-strategy) yang tak hanya mempersiapkan SDM nasional meningkatkan knowledge dan skill-nya, meng-upgrade kompetensinya, tetapi juga kemampuan bertransformasi saat kompetensi-kompetensi yang mereka miliki mulai redup dimakan teknologi.