Maruntung mengatakan, ketersediaan guru menjadi masalah serius lain di Papua. Banyak sekolah-sekolah di pedalaman Papua yang masih terisolasi, tidak mempunya cukup guru untuk mengajar.
“Kalau guru tidak ada, bagaimana anak bisa belajar? Jadi perlu juga memastikan ketersediaan guru yang cukup di Papua,” tambahnya.
Praktisi pendidikan dari Sentani, Kabupaten Jayapura, Abraham Fainsemen, mengatakan tidak hanya guru yang perlu dilatih. Para pegiat dan relawan literasi juga harus dilatih agar memiliki keterampilan teknis tentang literasi.
Dengan memiliki keterampilan teknis, komunitas dan relawan literasi bisa berkolaborasi dengan sekolah. Sebaik apapun program di sekolah, jika tidak terjadi kolabarasi yang baik antara sekolah, orang tua dan masyarakat (tokoh adat, tokoh agama) maka akan sia-sia.
Maka penting melibatkan orang tua, tokoh adat, tokoh agama, bahkan tokoh pemuda dalam setiap program di sekolah agar pembelajaran bisa berjalan dengan baik.
Hasil penelitian Sun Shine Coast University tahun 2017 di Papua menyatakan bahwa dengan melibatkan orang tua, tokoh adat dan tokoh agama dalam program di sekolah, maka terjadi peningkatan mutu pendidikan di sekolah tersebut.
Kampanye literasi yang lebih massif juga diperlukan untuk membangun kesadaran pentingnya memuntaskan keterampilan calistung di SD. Tidak boleh anak ditamatkan begitu saja dari SD, namun tidak terampil membaca.
Membaca adalah alat untuk belajar. Jika anak tidak terampil membaca, maka anak tersebut tidak akan maksimal belajar.