KOMPAS.com - Berusaha untuk tampil tenang, terlihat baik-baik saja, bahkan bahagia bisa dilakukan oleh sebagian besar orang meski mereka sedang mengalami banyak tekanan, merasa sedih, maupun takut. Hal ini semakin mudah dilakukan melalui media sosial.
Pakar Psikologi Universitas Airlangga (Unair), Margaretha Rehulina menjelaskan kondisi yang kerap disebut dengan duck syndrome.
Duck syndrome, terang dia, merupakan terminologi yang digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena populer. Istilah duck syndrome pertama kali dimulai di Stanford University, salah satu universitas terkenal di dunia karena mayoritas mahasiswanya merupakan mahasiswa-mahasiswa pilihan.
Pada tahun pertama, biasanya mahasiswa Stanford menampilkan diri seperti bebek (duck), yaitu di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat.
Baca juga: 5 Alasan Pasangan Selingkuh, Ini Penjelasan Sosiolog Unair
Mereka berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perjuangan yang besar.
“Supaya tidak terlihat kalah, maka mereka harus bersikap seperti bebek yang tenang padahal di balik itu semua sedang mengalami perjuangan, kegelisahan, dan ketakutan,” tuturnya seperti dilansir dari laman Unair, Senin (24/1/2022).
Duck syndrome dapat terjadi karena adanya persoalan yang muncul ketika seseorang sedang berusaha menyesuaikan diri di lingkungan.
Namun, kondisi tersebut akan menjadi masalah apabila apa yang ditampilkan sangat berbeda dengan yang sebenarnya dirasakan.
Baca juga: Serunya Melanjutkan S2 di Turki, Kuliah Gratis hingga Wisata Budaya
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (FPsi Unair) itu menuturkan bahwa di dunia klinis tidak memakai istilah duck syndrome. Menurutnya duck syndrome bukanlah diagnosa klinis.
Ia menyebutkan bahwa secara umum ada tiga jenis duck syndrome yang sering dialami oleh milenial. Cara menghadapi duck syndrome juga berbeda-beda tergantung pada jenis duck syndrome yang dialami.
Duck Syndrome yang pertama sering dialami oleh orang yang menampilkan diri di sosial media terlihat glamor, sukses, dan bahagia.
Padahal di balik itu, dia harus berhutang atau bekerja dengan sangat keras.
Tips menghadapinya adalah dengan lebih jujur untuk dapat menerima diri sendiri. Apa yang dimiliki saat ini adalah hal yang terbaik untuk dirinya.
Tidak perlu berpura-pura dan menipu diri di sosial media untuk menampilkan kesuksesan walaupun sebenarnya itu bukan gambaran dirinya.
“Poinnya adalah menerima diri sendiri agar bisa menjadi pribadi yang otentik,” jelasnya.
Baca juga: Beasiswa S1 di Singapura 2022: Kuliah Gratis, Tunjangan Rp 69 Juta Per Tahun