Dalam pembukaan Piagam Transdisiplinaritas yang diadopsi pada Kongres Transdisiplinaritas Dunia Pertama (Convento da Arrábida, Portugal, 2-6 November 1994) disebutkan bahwa secara inheren pendekatan transdisiplin mengakui keberadaan realitas dengan aras yang berbeda yang masing-masing diatur oleh jenis logika yang berbeda.
Pendekatan ini menawarkan pembangkitan data dan interaksi baru yang berasal dari perjumpaan antar disiplin, sehingga menawarkan visi baru tentang alam dan realitas.
Baca juga: Membangun Narasi Bersama Akselerasi Pemulihan Ekonomi lewat Kampus Merdeka
Pendekatan transdisiplin juga sering diasosiasikan dengan pengutamaan manfaat penelitian bagi masyarakat.
Solusi yang dihasilkan oleh penelitian transdisiplin dapat diterapkan melalui proses yang
berorientasi pada tindakan oleh kelompok-kelompok yang terlibat dalam penelitian tersebut. Cara pelaksanaan penelitian yang demikian ini dikenal sebagai post-normal science, mode-2 thinking atau co-produced knowledge – yang mengutamakan partisipasi dan produksi pengetahuan untuk perubahan sosial (Stokols, 2006 dalam Toomey et al., 2015).
Dengan demikian, idealnya penelitian transdisiplin bukan saja meleburkan berbagai disiplin ilmu yang terlibat tetapi juga mengutamakan partisipasi warga dan perubahan sosial yang dihasilkan.
Partisipasi warga dalam pemecahan berbagai masalah aktual - melalui mekanisme mind-sharing atau crowd-sharing – juga semakin mewujud dan mengukuhkan pendekatan transdisiplin.
Ilmu pengetahuan dan teknologi sudah bukan lagi menjadi monopoli perguruan tinggi. Banyak keahlian yang berakar dalam pengalaman hidup warga. Begitu pula kebenaran ilmu pengetahuan dan teknologi mulai tersebar merata dalam masyarakat.
Dalam ungkapan Beth Simone Noveck (2016), Guru Besar Universitas New York, telah berlangsung pergeseran dari pakar "resmi" (credentialed experts) ke pakar "warga" (citizen experts).
Sangat boleh jadi, sebagian besar dari kita telah memanfaatkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dibagikan oleh "pakar warga" secara cuma-cuma di media sosial.
Perguruan tinggi sudah tidak bisa lagi mendaku sebagai pemegang monopoli riset dan ilmu pengetahuan.
Mungkin, hanya satu monopoli perguruan tinggi yang masih dapat dipertahankan, yaitu pendidikan peneliti karena otoritasnya dalam pemberian gelar akademik.
Perguruan tinggi harus menggeser haluannya, bukan lagi sebagai kutub utama pengetahuan, tetapi hanya merupakan satu dari banyak kutub dalam konstelasi ilmu pengetahuan yang multipolar.
Akhirnya tidak ada pilihan lain bagi perguruan tinggi untuk tidak ikut “menari” mengikuti irama genderang yang ditabuh oleh Menteri Nadiem, bukan karena jabatan Menterinya tetapi lebih pada kecerdikannya untuk mentransformasi dua keniscayaan tersebut menjadi sebuah kebijakan konkrit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.