Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia raya
KOMPAS.com - Penggalan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ciptaan Wage Rudolf Soepratman dapat menjadi obat batin atas kondisi kebangsaan Indonesia saat ini yang mulai luntur karena berbagai kepentingan pribadi dan golongan.
Dibutuhkan suatu kesadaran nasional sebagai orang Indonesia untuk bangkit agar lebih peduli dan kenal pada Tanah Air Indonesia.
Kebangkitan Nasional Indonesia selain ditandai berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, juga diikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang salah satu janjinya adalah menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Seberapa kenal kita pada bahasa sendiri, bahasa Indonesia? Seberapa peduli kita pada kaidah bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), dan Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI)?
Seperti yang kita ketahui bersama, telah terjadi kegaduhan kebahasaan pascacuat beberapa kasus kesalahpahaman dalam berkomunikasi dalam situasi pandemi Covid-19 ini.
Baca juga: Hari Kebangkitan Nasional, Siapa Saja Tokoh-tokoh Pelopornya?
Kasus yang sempat mencuat dan membuat ramai masyarakat Indonesia adalah pernyataan Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, atas pernyataan harus tolong- menolong antara si kaya dan si miskin yang kontroversi.
Tak kalah gempar adalah pernyataan Presiden Joko Widodo tentang perbedaan ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’ yang sempat menjadi perdebatan masyarakat yang hendak pulang ke kampung menjelang Lebaran.
Terakhir, istilah nasi anjing yang dibagikan kepada warga sekitar Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka merasa dilecehkan setelah mendapat bantuan sebungkus makanan cepat saji. Warga merasa tersinggung karena terdapat cap kepala anjing di bungkus nasi bantuan tersebut.
Bahkan, pemberi bantuan tersebut sempat dilaporkan ke Polda Metro Jaya dengan alasan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan permusuhan.
Selain itu, pada kasus ini, terlapor dianggap telah melakukan penodaan suatu agama dan atau tindak pidana ITE.
Semua mata menjadi tertuju pada Pemerintah, politik, dan agama tertentu yang menjadi titik pusaran permasalahan yang denyutnya tidak hanya berada di Jakarta, tetapi juga menjalar ke seluruh Indonesia.
Masyarakat turut menjadi penyaksi kasus yang melibatkan khalayak ramai ini.
Beberapa ahli bahasa mencoba meluruskan di tengah pendapat subjektif para pengamat yang tiba-tiba merasa menjadi ahli bahasa.
Hasil analisis bahasa kasus-kasus tersebut menjamur di media sosial sebagai penetral atau bahkan sebaliknya, memanfaatkan situasi ini untuk menyudutkan atau membela Pemerintah.