Masalah bahasa adalah kepedulian pada bahasanya sendiri. Masalah bahasa adalah tentang rasa kebangsaan kita pada tanah air Indonesia. Masalah bahasa adalah berhubungan dengan kebanggaan menjadi Indonesia dengan berusaha mengerti dan memahami bahasanya.
Masalah bahasa adalah masalah nasionalisme. Masalah bahasa adalah masalah persatuan dan kesatuan Indonesia.
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa rasa nasionalis sebagai orang Indonesia lahir dari orang-orang hebat.
Selain mendirikan Boedi Otomo, sebagai manifestasi dari perjuangan nasionalisme, Soewardi Suryaningrat juga sebagai pendiri Taman Siswa yang akhirnya sanggup mengobarkan pemuda-pemudi Indonesia dan mencetuskan ikrar Sumpah Pemuda.
Bahkan, Ki Hadjar Dewantara, nama lain Soewardi Suryaningrat, pernah diangkat menjadi Menteri Pendidikan RI untuk menjaga rasa nasionalis pada rakyat Indonesia yang akan ditanamkan melalui pendidikan.
Namun sayang, nama sekolah ini lama-kelamaan tak pernah terdengar lagi. Mungkin situasi ini identik dengan rasa nasionalis orang Indonesia yang kini mulai tak terdengar. Rasa nasionalis itu mulai menipis.
Bahkan, luntur!
Sekarang bangsa kita sedang sakit. Masyarakatnya gampang dipengaruhi. Mudah percaya desas-desus. Apa pun kesalahan yang terjadi di negeri ini, termasuk kesalahan bahasa disikapi dengan balutan politik dan agama.
Padahal, orang-orang terdahulu kita itu hebat. Padahal, negara-negara lain mengakui negeri kita yang kuat karena keanekaragaman budaya, agama, dan suku ini.
Padahal, bangsa-bangsa lain mengakui kita sebagai negara yang kokoh karena orang-orang Indonesia memiliki rasa nasionalis tinggi. Padahal, orang-orang terdahulu kita itu tangguh dalam menjaga persatuan Indonesia dengan lahirnya Pancasila.
Padahal, dulu sebelum merdeka, mereka tanpa pernah mengedepankan siapa diri kita, dari suku mana, atau apa agamanya, mereka bersatu dan berperang melawan Belanda. Padahal, padahal, dan padahal.
Sungguh ironis!
Sebenarnya, kita bisa belajar dari sejarah. Sejarah mencatat bahwa konflik antarsuku berawal dari munculnya Jong Java, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Sumatera.
Perkumpulan organisasi pemuda-pemuda yang keakuan kedaerahannya dikedepankan itu berpeluang dapat memecah bangsa Indonesia.
Bersyukurlah lahir Sumpah Pemuda sehingga semua kembali bersatu dan rasa nasionalis kembali muncul dan bangkit. Sekarang? Saat ini seolah-olah kita seperti melihat Indonesia ke belakang.
Banyak orang yang muncul dengan keakuannya, tetapi bukan lagi karena kedaerahannya, melainkan karena agama. Saya Islam. Kamu Kristen. Dia Katolik. Saya Hindu. Kamu Budha. Dia Cina.
Mereka lupa mengatakan. “Saya Indonesia!” Memprihatinkan!
Bagaimana cara semua orang yang berasal dari berbagai suka daerah di negeri ini dengan bangga mampu menyatakan bahwa “Saya Indonesia!”?
Belajar dari sejarah: Sumpah Pemuda jawabannya!
Tepatnya, butir ketiga: “Berbahasa satu bahasa Indonesia”. Itulah jawabannya!
Mari kita merenung sejenak.
Terkuaknya kasus kebahasaan ini karena kekurangpedulian kita pada bahasa Indonesia, kekurangperhatiaan kita memaknai bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mari kita renungkan sesaat bahwa dengan adanya beberapa kasus kebahasaan selama pandemi Covid-19 ini, kita mulai menyadari betapa pentingnya penguasaan kita pada bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia.
Cinta dan kasih sayang akan menjulang lebih tinggi ketika kita akan kehilangan sesuatu. Kita akan lebih mencintai kedua orang tua kita ketika mereka sakit, lemah, dan tak berdaya.
Mengapa? Ya, kita takut kehilangan kedua orang kita. Kita takut mungkin sesaat lagi orang tua kita akan kembali pada Sang Pencipta. Mengapa tiba-tiba bangsa Indonesia begitu mencintai batik. Semua orang memakai batik. Bahkan, Pemerintah segera menentukan hari Batik Nasional.
Ya, itu pun karena kita memiliki rasa takut. Kita takut batik sebagai salah satu warisan budaya bangsa diakui oleh bangsa lain. Nah, sekarang pertanyaannya adalah, kapan kita akan mencintai bahasa Indonesia?
Apakah akan menunggu dulu sampai negara lain berteriak bahwa bahasa kita adalah bahasa mereka? Tentu tidak!
Mulai hari ini marilah kita lebih mengenal bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia. Marilah kita lebih mencintai bahasa Indonesia dan marilah kita lebih bangga pada bahasa Indonesia demi kebangkitan nasional!
Terakhir, untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip kalimat Edmun Burke, “Membaca tanpa merenungkan ibarat makan tanpa mencerna.”
Itulah gambaran masyarakat pembaca Indonesia yang membaca hanya mendasar pada huruf demi huruf, kata demi kata, frasa demi frasa, klausa demi klausa, dan kalimat demi kalimat, tanpa memahami hubungan di antara unsur-unsur pembangun kalimat, tanpa mencermati kaitan dan hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lainnya, tanpa mengkritisi lokusi, ilokusi, dan perlokusinya, pembaca yang hanya berfokus pada hal-hal yang tersurat, bukan pada hal-hal yang tersirat.
Semoga paparan ini mampu menyirnakan pertanyaan-pertanyaan, “Mana tanahmu?” “Mana airmu?” dan menggantikannnya dengan pertanyaan “Mana Tanah Airmu?
Juga semoga sanggup mengusung tanya dalam diri masyarakat Indonesia. “Sudahkah kita menjadi pembaca yang baik?”
“Sudahkah kita mengenal bahasa Indonesia dengan baik dan benar?” “Sudahkah kita membangun jiwa kita untuk Tanah Air Indonesia?” “Sudahkah kita membangun raga untuk Negeri Indonesia?”
Mari kita jawab dengan sikap, tindakan, dan tuturan yang mampu membuat senyum Ibu Pertiwi tetap berkembang. Mari kita bangkit dan bangun jiwa dan raga kita untuk Tanah Air Indonesia. Selamat Hari Kebangkitan Nasional!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.