Namun, di balik semua itu, sebenarnya terungkap sesuatu yang mengusung tanya atas kesadaran berbahasa, berbangsa, dan bertanah air Indonesia.
Andai masyarakat Indonesia memahami dan menjalankan Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
Baca juga: Hari Kebangkitan Nasional, Bangkitnya Nasionalisme
Andai masyarakat Indonesia menyambut dengan gembira Perpres Nomor 63 Tahun 2019 ini dan mau menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai Pasal 2 Ayat (1)!
Andai masyarakat Indonesia dengan suka cita dan rasa bangga sesuai mau menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan konteks berbahasa dan selaras dengan nilai sosial masyarakat seperti pada ayat (2)!
Andai masyarakat Indonesia dengan cerdas mau menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia seperti pada ayat (3)!
Andai masyarakat Indonesia mau menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai situasi dan kondisi seperti pada pasal 2 tersebut!
Tidak ada lagi pejabat publik yang mengeluarkan pernyataan yang meresahkan publik. Tidak ada masyarakat Indonesia yang bingung atau salah memahami suatu pernyataan.
Semua itu adalah upaya kita membangkitkan kesadaran nasional sebagai wujud merawat negeri melalui kepedulian terhadap bahasa Indonesia.
Di Hari Kebangkitan Nasional ini, tidak ada salahnya mari, kita bangkitkan kesadaran berbangsa Indonesia melalui berbahasa Indonesia yang baik dan benar dengan cara lebih mengenal, mengerti, dan memahami bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia.
Untuk memahami maksud, tujuan, dan pesan yang terdapat pada sebuah kata, frasa, klausa, atau kalimat dibutuhkan pemaknaan.
Pemaknaan dapat dilakukan melalui tiga tahap: secara leksikal, gramatikal, dan pragmatis.
Secara sederhana, pada level awal, kita bisa mengawalinya dengan pemahaman secara leksikal: memaknai kata berdasarkan makna yang bersifat tetap dan tidak terikat pada kata lain atau konteks.
Jika melalui makna leksikal tidak dapat dipahami, kita dapat menaikkan tahapannya secara gramatikal dan jika diperlukan pemahaman yang lebih mendalam, kita gunakan pemaknaan secara pragmatis atau kontekstual.
Pada kasus pertama, mengapa terjadi kesalahan? Masyarakat hanya memaknai secara leksikal. Padahal, sebuah kalimat tidaklah tepat jika dimaknai secara leksikal atau kata demi kata berdasarkan kamus.
Kalimat “Orang miskin harus melindungi orang kaya agar tidak menularkan penyakitnya.”?
Cukupkah dipahami secara leksikal? Tentu tidak. Makna sebuah kalimat harusnya berdasarkan gramatikalnya.
Baca juga: Di Balik Sejarah Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei...
Secara gramatikal, kalimat itu tidak ada yang salah! Secara pragmatis juga sudah benar. Lalu, mengapa terjadi kesalahpahaman?
Rupanya titik kesalahpahaman terdapat pada pronomina–nya.
Siapa yang dimaksud kata ganti -nya? Orang miskin atau orang kayakah? Sudah tepatkah penggunaan diksi pada kalimat itu? Bagaimana penggunaan kata "agar"? Untuk tujuan objek atau subjek?
Secara gramatikal, kalimat yang sempat viral itu dapat dianalisis sbb. "Orang kaya harus melindungi yang miskin agar hidup wajar." merupakan kalimat majemuk yang berasal dari (1) Orang kaya harus melindungi orang miskin. (2) Orang miskin dapat hidup wajar.
Dengan demikian, kalimat majemuk "Orang miskin harus melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya." dapat dirunut berasal dari klausa (1) Orang miskin harus melindungi yang kaya. (2) Yang kaya tidak menularkan penyakitnya (-nya yang dimaksud orang kaya).
Simpulan secara gramatikal: tidak ada yang salah dari struktur kalimat tsb.
Atau secara sederhana dapat dianalogikan dengan kalimat berikut. (1) Ibu perlu menjemur baju. (2) Baju dijemur tidak apek baunya. Ibu perlu menjemur baju agar tidak apek baunya (-nya baju).
Contoh lain. (1) Koki perlu menggarami tempe. (2) Tempe digarami tidak asam rasanya. Simpulan: Koki perlu menggarami tempe agar tidak asam rasanya (nya= tempe).
Dengan demikian, -nya sebagai pronominal selalu mengacu pada objek. Jika dihubungkan dengan kalimat “Orang miskin harus melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya”, pronomina -nya mengacu pada orang kaya (bukan orang miskin) agar tidak menularkan penyakitnya.
Mudah bukan?